|
Musicians from Indonesia's May 3rd Battalion barracks playing their home-made instruments; a bamboo fife, a cardboard and pipe horn and a drum |
Kisah Terbentuknya Batalyon 3 Mei
Oleh : Harry Kawilarang
Pengakuan kedaulatan kerajaan Belanda terhadap Republik Indonesia pada
27 Desember 1949 menggema di berbagai pelosok nusantara. Termasuk
Sulawesi Utara, wilayah paling utara Indonesia. Kondisi luar Jawa di
Indonesia Timur di masa revolusi kemerdekaan antara 1945-1950 masih
terpecah-pecah antara yang pro-integrasi dengan pro-Belanda. Pihak
Belanda berusaha memanfaatkan untuk
mengembalikan kekuasaannya di
Indonesia.Situasi ini merisaukan kalangan perwira TNI asal Indonesia
Timur yang tergabung dalam kesatuan KRU-X (Korps Reserve Umum X). Wadah
ini adalah bagian dari TNI Perjuangan (Bekas Laskar Rakyat) yang
terbentuk pada pertengahan tahun 1948. Kesatuan ini dipimpin Let-Kol
A.G. Lembong dengan wakilnya, Let-Kol J.F. Warouw didampingi Mayor H.N.
Sumual, Letnan Satu Lendy Tumbelaka. Kapten Piet Ngantung, Kapten Eddy
Gagola, Kapten Matulessi, Kapten E.J. Kanter. Kapten J. Mandang dll.
Wadah kekuatan militer ini aktif di masa revolusi fisik di Jawa
berkekuatan 4 batalyon tempur yang masing-masing terdiri dari:
-.Batalyon “A” di Jawa Tengah, dibawah komando Kapten Palar; -.Batalyon
“B” di Jawa Tengah dibawah komando Mayor H.V. Worang; -.Batalyon “C” di
Jawa Timur dibawah komando Kapten A. Rifai; -.Batalyon “D” di Jawa
Tengah dibawah komando Mayor A. Mattalata.Wadah KRU-X mengalami
re-organisasi menjadi Brigade XVI dan giat memberangus pemberontakan PKI
di Madiun dan juga gigih dalam pertempuran pada aksi agresi militer
kedua pihak Belanda. Pada bulan Oktober 1948, Brigade XVI menyusun
rencana membebaskan Kalimantan dan Indonesia Timur dari pengaruh
Belanda. Let-Kol Lembong mempersiapkan Komando Groepen. Ia dibantu
Kapten Piet Ngantung mengembangkan integrasi TNI terhadap prajurit
eks-KNIL di Sulawesi Utara. Rencana penyerbuan Sulawesi Utara akan
dilakukan dari Filipina yang pernah menjadi daerah perjuangan Lembong
ketika menjadi anggota pasukan Sekutu melakukan perang gerilya melawan
pasukan Jepang masa perang Pasifik Raya. Adanya rencana ini hingga
kepemimpinan Brigade XVI dari Let-Kol Lembong di alih-tugaskan kepada
Let-Kol Joop Warouw. Namun rencana keberangkatan pasukan pimpinan
Let-Kol Lembong ke Filipina tidak kesampaian ketika Belanda melakukan
agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Yogyakarta diduduki dan
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri
Sutan Syahrir ditangkap. Aksi militer Belanda itu juga menangkap Let-Kol
Lembong bersama Kapten Leo Kailola. Let-Kol Lembong bersama beberapa
prajurit tewas pada peristiwa penyerbuan APRA pimpinan Mayor Raymond
Westerling di Bandung pada bulan Januari 1950.
Sekalipun aksi
militer kedua Belanda sempat mempengaruhi rencana, tetapi proses
integrasi tetap di jalankan oleh perwira-perwira TNI sudah yang diutus
ke Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Pengadaan Komando
Groepen Sulawesi Utara TNI dilakukan oleh Piet Ngantung menggalang
kekuatan dibantu pemuda-pemuda setempat, yakni Frans Wowor, Sam Ogi,
Lexi Anes dan Alo Tambuwun.
Suasana Indonesia Bagian Timur di Awal
Pengakuan Kedaulatan Situasi Indonesia Timur sejak paska perang Pasifik
tidak menentu. Walau di Jakarta tercetus proklamasi Indonesia merdeka
yang terjadi akibat kevakuman pemerintahan setelah penguasa militer
Jepang meletakkan senjata, setelah Kaisar Hirohito memaklumkan perang
sudah berakhir dan menyerah kepada pihak Sekutu.
Menjelang akhir
perang Pasifik Raya, sebagian besar dari kawasan Indonesia Timur yang
berada di bawah pemerintahan Angkatan Laut Jepang,sudah diduduki pasukan
Sekutu SWPA pimpinan Jendral Mac Arthur sejak awal tahun 1945.
Kekalahan bermula sejak kekuatan Angkatan laut Jepang dilumpuhkan di
Pasifik Barat Daya sbulan April 1943. Pihak Sekutu berhasil membangun
poros kekuatan dari Pasifik Barat-Daya, membangun pangkalan militer di
pulau Biak dan pulau Morotai dan menguasai Laut Maluku Utara hingga Laut
Sulawesi. Dari Morotai, kekuatan sekutu melakukan pemboman terhadap
posisi kekuatan Jepang di Ambon, Manado, Makassar dan Balikpapan
diduduki oleh pasukan Australia.
Setelah perang berakhir, pihak
Sekutu melakukan proses alih pemerintahan kepada pihak Belanda yang
dikelola NICA (Netherlands Indiesch Civil Administration) di Indonesia
Timur. Lembaga ini di dirikan oleh Dr. H. van Mook di Merauke, sebagai
pemerintah pengasingan Hindia-Belanda pada masa perang Pasifik. Ternyata
alih pemerintahan kepada pihak NICA berdampak buruk bagi citra sekutu
dari masyarakat Indonesia Timur yang menolak kembalinya hegemoni
Hindia-Belanda. Pergolakan tak terhindar dan melanda Kalimantan,
Sulawesi dan Maluku hingga merepotkan militer Australia yang dijebak
oleh Belanda memusuhi kalangan nasionalis. Padahal para nasionalis di
Indonesia Timur turut membantu pasukan sekutu memerangi Jepang dalam
berbagai aksi bawah tanah di masa pendudukan militer Jepang. Pembentukan
KOMPAS-SUMU Sejak pengakuan kedaulatan, Brigade XVI di likwidasi dan
berbagai personal dimutasi oleh Kementerian Pertahanan RI yang bermarkas
di Yogyakarta. Ekspedisi ke daerah Seberang (Luar Jawa), di Indonesia
Timur pimpinan Let-Kol. Joop Warouw sebagai komandan Pasukan Komando
Sulawesi Utara-Maluku Utara (KOMPAS SUMU)pada bulan Mei 1950.
Sebelumnya, Kementerian Pertahanan RI mengutus Mayor Ventje Sumual,
Mayor Daan Mogot, Kapten Eddy Gagola dan Kapten Piet Ngantung ke Manado
dengan tugas melakukan proses alih keamanan dari Komando territorial
Militer Belanda kepada TNI dan mengatur para prajurit eks KNIL menjadi
TNI di Sulawesi Utara. Antara bulan Desember 1949 – April 1950, banyak
perwira asal Indonesia Timur bertugas sebagai unsur APRIS (Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat) di luar Jawa dan diperbantukan pada
KMTIT (Komisi Militer Territorial Indonesia Timur) pimpinan Let-Kol
Ahmad Yunus Mokoginta dan Ir. Putuhena. Diantara perwira-perwira TNI
dari Brigade XVI terdapat Lettu J. Wowiling, Lettu H.
Montolalu,
Lettu Lendy R. Tumbelaka, Kapten Usman Djaffar, Kapten M. Jusuf, Kapten
Idrus, Lettu D. Nanlohy, Mayor Saleh Lahade, Lettu A, Sapada dll.
Sedangkan Mayor Jendral Suhardjo ditugaskan menuju Banjarmasin bersama
beberapa perwira Brigade XVI asal Kalimantan.
Alih militer dari KNIL
menjadi TNI disalurkan melalui KMTIT ingin dibendung oleh Belanda dan
berusaha mempengaruhi kalangan bintara KNIL menentang kedatangan pasukan
TNI berintikan Brigade XVI pimpinan Let-Kol Joop Warouw.
Kampanye
anti TNI di Indonesia Timur dilakukan Dr. Chris Soumokil didukung
Kolonel Schotborg, Panglima Komando Territorial militer Belanda Wilayah
Timur dan Kalimantan (GOB, Grote Oost en Borneo) melakukan sebaran anti
TNI terhadap tentara KNIL menentang TNI di Ambon, Makassar dan Manado.
Bahkan bermaksud memproklamasikan Negara Merdeka Indonesia Timur
terpisah dari Republik Indonesia dengan membentuk garis pertahanan
Makassar-Manado-Ambon dibawah “Plan Metekohi.” Kolonel Schotborg
menghendaki agar anggota eks-KNIL di APRIS-kan dalam formasi Batalyon
dan Kompi dan sudah terbentuk sebelum kedatangan pasukan TNI dari Jawa.
Dalam usaha ini pihak Belanda mempengaruhi kalangan prajurit KNIL di
Makassar, Manado dan Ambon. Akibat kampanye anti-TNI hingga timbul
berbagai pergolakan daerah di Indonesia. Misalnya kerusuhan di Ambon di
awal Januari 1950, aksi militer oleh prajurit-prajurit bekas KNIL
terutama dari anti Belanda pada bulan April dan aksi militer pimpinan
Kapten Andi Azis dan menyerang markas TNI di Makassar. Andi Azis
sebelumnya adalah ajudan Wali Negara NIT, Sukowati dan bersama satu
kompi KNIL resmi memasuki TNI pada 30 Maret. Namun sehari sebelumnya
Andi Azis ditemui Dr.Chris Soumokil yang datang dari Manado dan bersama
Kolonel Schotborg mempengaruhinya untuk menentang pendaratan Batalyon
Worang di Makassar pada 5 April. Azis dipengaruhi bila APRIS terbentuk,
tidak perlu kehadiran TNI. Soumokil juga mempengaruhi kalangan pejabat
pemerintahan NIT dan berkampanye “negara Merdeka Indonesia Timur” di
Makassar dukungan Belanda untuk memisahkan Indonesia dari RIS (Republik
Indonesia Serikat) melalui “Plan Metekohi.” Andi Azis berhasil
dipengaruhi Soumokil hingga melakukan aksi militer menentang TNI.
Pada 5 April pagi pasukan Andi Azis beraksi melakukan penyerbuan
terhadap kediaman perwira-perwira TNI, terutama asrama CPM (dulu
Verlengde Klapper Laan) Makassar dan menangkap Let-Kol A.J. Mokoginta
dan perwira TNI lainnya. Pasukan Andi Azis memblokir Pelabuhan Makassar
untuk membendung pendaratan Batalyon Worang pimpinan Mayor H.V. Worang.
Akibat kemelut di Makassar hingga kapal-kapal “Waikelo” dan “Bontekoe”
yang mengangkut pasukan Batalyon Worang dialihkan ke Balikpapan.
Operasi Pertiwi Untuk mengatasi kemelut Indonesia Timur dari ancaman
separatisme, Menteri Pertahanan RIS, Letnan-Jendral Sultan Hamengku
Buwono IX, atas instruksi Presiden Soekarno, sebagai Panglima Tertinggi
RIS, mengangkat Kolonel Alex E. Kawilarang setelah bertugas melakukan
integrasi TNI di Sumatera, diangkat menjadi Panglima Komando Tentara
Teritorium Indonesia Timur (KMTIT) pada 15 April 1950. Kolonel A.E.
Kawilarang menerapkan Operasi Pertiwi dengan dukungan kekuatan: Brigade
Garuda Mataram, pimpinan Let-Kol Soeharto (Pr0esiden RI); Satuan
Brawijaya, pimpinan Let-Kol Suprapto Sukawati; Satuan Siliwangi,
pimpinan Let-Kol Kosasih. Kekuatan didukung satuan Brigade XVI dari:
Batalyon Worang, pimpinan Mayor H.V. Worang dan Batalyon Mattalata
pimpinan Mayor Andi Matalatta. Rencana pendahuluan penyerbuan ke
Makassar dilakukan oleh Batalyon Worang pada 26 April tidak mengalami
kesulitan, karena sehari sebelumnya Andi Azis sudah terbang dengan
pesawat Catalina dan ke Jakarta, setelah sehari sebelumnyamenyerah dan
pasukannya dilucuti dam di konsinyir di Makassar. Sebelumnya, pada 24
April malam, Andi Azis menemui Kolonel Kawilarang dan menyatakan ingin
bergabung dengan TNI. Penyerahan diri Andi Azis berlangsung keesokan
harinya kepada Let-Kol Soeharto. Penyerahan diri Andi Azis hingga
pendaratan pasukan Worang di Makassar tidak mengalami perlawanan.
Berlanjut dengan pendaratan pasukan induk Brigade XVI dari Surabaya
beberapa hari kemudian dengan kapal pendarat LST di Makassar. Dengan
kekuatan ini hingga pasukan TNI secara bertahap menggusur pengaruh KNIL
di Makassar. Setelah berada di Makassar, Let-Kol Joop Warouw diangkat
menjadi Komandan pasukan Sulawesi Utara Maluku Utara (KOMPAS SUMU)
dengan tugas mengambil alih Komando Territorial Belanda (Troepen
Comman-dant Noord Celebes) oleh Kementerian Pertahanan dari Yogyakarta.
Mayor Suharyo ditunjuk sebagai Kepala Staf atas permintaan khusus dari
Warouw kepada Let-Kol Zulkifli Lubis yang waktu itu menjabat Komandan
organisasi Intel Kementerian Pertahanan. Kesatuan ini berintikan anggota
Brigade XVI yang pernah melakukan perang gerilya di Gunung Kawi, Jawa
Timur menghadapi pasukan SEAC (South East Asia Command) dibawah komando
Inggris ketika melakukan pendaratan di Surabaya untuk menguasai Jawa.
Diantara para perwira dari brigade ini terdapat antara lain Mayor Saleh
Lahade, Mayor H.V. Worang, Mayor Rifai, Mayor Pieterz, Mayor Firmansyah,
Mayor Mochtar, Mayor Abdullah, Kapten Pattinama, Kapten Padang, Kapten
Tenges, Kapten Arie Supit, Kapten Somba, Kapten Wuisan, Letnan Lendy
Tumbelaka, Letnan Maulwi Saelan, Letnan Andi Odang, Letnan Yan Ekel dll.
Kesatuan KOMPAS SUMU selama berada di Makassar giat melakukan persiapan
militer dalam usaha pendaratan mereka di Manado.
Usaha Belanda
Melakukan Garis Pertahanan Makassar-Manado-Ambon Tidak berlanjutnya aksi
pemberontakan Andi Azis mengecewakan Dr.Chris Soumokil penentang
integrasi TNI dan menggunakan pesawat Pembom B-25 meninggalkan Makassar
menuju Manado. Soumokil berusaha mempengaruhi pasukan eks-KNIL di
Sulawesi Utara untuk menemui Sersan (KNIL) Mawikere, pimpinan TWAPRO
guna memperoleh dukungan menentang integrasi TNI. Setiba di lapangan
terbang Mapanget (kini bandar udara Sam Ratulangie), Soumokil tidak
turun dan hanya mengirim utusan ke Manado dengan maksud menemui kelompok
Mawikere. Tetapi kedatangan rombongan dibendung oleh kalangan pemuda,
hingga misi Soumokil gagal dan kembali ke Ambon. Aksi menentang TNI
berlanjut di Ambon ketika Chris Soumokil, Jaksa Tinggi NIT
memproklamasikan Republik Maluku Selatan (RMS) pada 25 April dan
menyatakan memisahkan diri dari NIT atau RIS. Cetusan proklamasi RMS di
dukung Ir. Manusama, Han Boen Hiong dan sekitar 2.000 pasukan KNIL
termasuk kesatuan komando Baret Merah dan Baret Biru. Proklamasi itu
menempatkan Ir. Manusama sebagai Presiden RMS dengan Ambon sebagai pusat
pemerintahan RMS. Untuk memperkuat kekuasaan rezim, pihak RMS menangkap
Pupella cs. dari Partai Indonesia Merdeka (PIM) di Ambon yang pro
Republik.
Situasi Manado Peristiwa Andi Azis sampai pula di Manado
dan mendapat perhatian khusus dari kalangan kubu republik. Sebelumnya di
akhir bulan Maret, di Manado diselenggarakan rapat militer Belanda oleh
komandan garnisun di tangsi militer Reserve Corps KNIL di Wanea, Manado
Selatan. Tujuan pertemuan itu, untuk membendung pendaratan pasukan TNI
ke Minahasa. Sulawesi Utara waktu itu berada dibawah Komando militer
KNIL Troepen Commando Noord Celebes, terdiri dari staf komando,
dinas-dinas perhubungan dan logistik. Komando ini membawahi kurang lebih
satu batalyon infantri, satuan cadangan, Reserve Corps KNIL, dinas
radio/ PHB, polisi militer dan satuan logistik. Sebagian besar dari
kalangan prajurit dan bintara adalah turunan Minahasa. Sedangkan
perwira-perwira staf dari komandan batalyon, kompi hinga peleton adalah
kulit-turunan Belanda. Sedangkan pangkat pri-bumi hanya Prajurit Dua dan
paling tinggi Pembantu Letnan Dua. Pertemuan itu berusaha mematangkan
“Rencana Metekohi”, membentuk garis pertahanan Makassar-Manado-Ambon
dihadiri militer Belanda yang khusus di kirim Kolonel Schotborg dari
Makassar. Pertemuan itu berusaha meraih kesepakatan menggagalkan proses
alih keamanan militer dari Komando Teritorial Belanda kepada TNI di
Indonesia Timur. Rapat itu mengusulkan mengaktifkan kembali
prajurit-prajurit pensiunan KNIL (Papo) dibawah naungan (Reserve Corps
KNIL Manado). Tetapi usulan tersebut di tentang keras oleh kalangan
anggota KNIL pri-bumi yang cenderung berpihak pada RI. Sebagian besar
anti-pati berada dibawah kekuasaan Belanda, yang dinilai takut
berperang. Wibawa perwira Belanda juga turun di kalangan pasukan
pri-bumi karena langsung menyerah pada Jepang tanpa perlawanan. Banyak
dari mereka ini yang berhasil lolos dari penangkapan Jepang, bergabung
dengan Sekutu dan gigih bertempur di Guadalcanal, Filipina dan perebutan
berbagai kota di Indonesia menghadapi Jepang. Namun sejak Perang Dunia
Kedua usai, banyak dari mereka kecewa, karena harus kembali berada
dibawah pimpinan Belanda. Mereka kembali mendapat perlakuan
diskriminatif dari bekas kolonialnya. Bermula dari komentar Kopral Y
Salmon, sekalipun berpangkat rendah dan hanya menjabat sebagai staf
schrijver (juru-tulis bagian personalia KNIL), Salmon kritis
mengemukakan komentarnya. Pada forum itu Yan Salmon dengan lantang
mengatakan: “…Bahwa pada kenyataannya, Kerajaan Belanda telah mengakui
kemerdekaan Republik Indonesia. Pengakuan ini secara otomatis
menempatkan Minahasa merdeka dan secara otomatis pula masuk kedalam
wilayah Indonesia. Jika kami sebagai prajurit KNIL asal Minahasa melawan
TNI, bukankah itu suatu pengkhianatan?” Pada bagian lain Salmon
mengemukakan: “…Kalaupun terjadi pertempuran antara kami dengan
saudara-saudara kami dari TNI, dan yang terbunuh terdapat para pensiunan
prajurit-prajurit KNIL asal Minahasa yang sudah tua dan sudah lemah
fisik, siapa yang menjamin dan membayar pensiun keluarga mereka? Terus
terang mereka tidak mau mati konyol!” Komentar Kopral Salmon ternyata
mempengaruhi suasana rapat dan semua yang hadir hening seketika, dan
para perwira Belanda sempat terbelalak dengan pandangan kritis itu. Para
pensiunan yang hadir terdiam dan sama sekali tidak menyanggah pandangan
Kopral Salmon. Pandangan dan pertanyaan Salmon tidak memperoleh jawaban
tegas dari perwira-perwira Belanda hingga menimbulkan antipati hadirin.
Pada pertemuan itu, para perwira Belanda gagal menguasai keadaan dan
tidak berhasil menggolkan konsep mengaktifkan kembali para pensiunan
KNIL di Sulawesi Utara. Padahal waktu itu Dr. Soumokil juga di utus
markas militer Belanda di Makassar menghadiri pertemuan itu di Manado.
Namun bekas Jaksa Tinggi NIT yang memvonis mati pemuda Kawanua, Wolter
Monginsidi (pahlawan Nasional) di Makassar (di hukum mati pada 5
September 1949). Setelah utusan militer Belanda gagal melakukan misi
mewujudkan rencana Metekohi di Manado, Soumokil bersama para perwira
Belanda terbang menuju Makassar untuk menghasut Andi Azis memberontak.
Kudeta di Minahasa Raad Pada pertengahan April terjadi perdebatan
sengit di Dewan Minahasa (waktu itu Minahasa Raad), Manado. Sebelumnya
lembaga legislatif dikuasai kelompok TWAPRO (Twaalfde provintie)
pimpinan Mawikere yang pro-Belanda. Namun pengaruh TWAPRO menurun tajam
terutama di kalangan bekas prajurit-prajurit KNIL yang pernah bertempur
baik di front peperangan Pasifik dibawah naungan AS, maupun di
Asia-Tenggara dibawah komando Inggris. Tetapi setelah kembali dari
peperangan, mereka kembali harus berada dibawah komando Belanda. Mereka
juga kecewa, karena tiada jaminan keselamatan dan keamanan yang
dilakukan pihak militer Belanda terhadap keluarga mereka yang
ditinggalkan di Jawa. Banyak dari keluarga mereka di-bantai oleh
pemuda-pemuda radikal ekstrimis dengan tuduhan sebagai “anjing NICA.”
Mereka ini disiksa tanpa perlawanan seperti aksi pembantaian yang
terjadi di Sala-tiga. Pembantaian ini dapat dihentikan oleh Laskar KRIS.
Dampak aksi militer 14 Februari 1946 oleh Sersan Taulu cs. telah
menimbulkan ketidak senangan kalangan bekas prajurit eks-KNIL asal
Sulawesi Utara karena menjadi korban diskriminasi kolonialisme Belanda.
Di awal pasca perang dunia kedua, situasi politik di Sulawesi Utara
terpecah-pecah oleh berbagai kelompok baik yang pro maupun anti-republik
seperti dari barisan Republik, Unitaris, Federalis, Hoofden Bond,
Twapro (Twaalfde Provintie) dll. Kelompok Twapro yang menguasai Dewan
Minahasa menghadapi aksi barisan oposisi, GIM (Gerakan Indonesia
Merdeka)dengan pemukanya, Uttu J.A Maengkom (mantan Menteri Kehakiman
RI), dan didukung kalangan pemuda pro-Republik terutama dari Tomohon,
Langowan dan Tondano. Kegagalan utusan Kolonel Schotborg melakukan
kampanye anti-TNI pada pertemuan Wanea ternyata mempengaruhi posisi
TWAPRO di Minahasa Raad (Dewan Minahasa). Pada sidang Dewan Minahasa di
Manado, pihak TWAPRO berusaha meriah dukungan rencana Metekohi. Tetapi
mendapat reaksi hebat barisan oposisi melalui perdebatan seru. Dari
perdebatan ini terjadi keraguan dari kelompok pro Belanda ketika pihak
oposisi mengingatkan bakal terjadi perang saudara dan Manado dilanda
banjir darah. Lagi pula masyarakat di Sulawesi Utara jenuh dengan
peperangan dan tidak ingin mengulangi penderitaan yang dan pernah di
alami pada masa pendudukan Jepang. Para orang-tua juga tidak ingin lagi
mengorbankan putera-putera mereka digunakan untuk bertarung dalam
berbagai pertempuran baik untuk Sekutu maupun oleh Jepang. Argumentasi
kalangan republik terhadap ancaman perang saudara, karena yang di hadapi
adalah barisan pemuda dukungan Angkatan Muda KNIL terutama dari Morotai
penentang Belanda. Situasi ini menguntungkan barisan pro Republik dan
berhasil melakukan aksi “Kudeta” di Dewan Minahasa.
Awal Gerakan 3
Mei Di Manado pada Selasa 25 April 1950, jam 20.00 malam, rumah Sersan
(KNIL) Fred Bolang (Brig-Jen Purn. TNI AD) ditemui Laurens Saerang, Lexi
Anes dan Frans Wowor dari kelompok Front Laskar Pemuda (FLP) yang
mengenakan jaket Merah Putih. Pada pertemuan itu Bolang di ajak
bergabung dengan Republik memimpin operasi militer bersama pemuda
melakukan kudeta terhadap Belanda. Bolang dipilih karena pengalamannya
sebagai militer profesional. Prestasi militer Bolang dikenal sebagai
pasukan khusus Sekutu dibawah komando Mayor Tom Harrisson dari Inggris
ketika memimpin perang gerilya melawan tentara Jepang di pedalaman
Kalimantan. Sekembalinya di Minahasa, Bolang sering dikenal vokal
terhadap penguasa Belanda. Sekalipun Bolang tidak terlibat pada Gerakan
14 Februari 1946, tetapi ia dicurigai militer Belanda di Manado. Jebolan
bintara KNIL Angkatan 1939 di Gombong disegani karena prestasinya dan
berperang sebagai prajurit profesional hingga Fred Bolang menyandang
berbagai penghargaan militer dari Sekutu. Antara lain, “British Empire
Medal,” dari Inggris, oleh Laksamana Mountbatten, “Pacific Medal,” dari
Panglima Sekutu, Jendral Mac Arthur, bintang militer “Ridderlijke Orde”
dari Belanda oleh Letnan Jendral Spoor, Panglima militer Belanda di
Indonesia karena prestasi militer masa perang dunia kedua. Dari
prestasinya itu hingga Bolang luput dari penangkapan. Tidak berlanjutnya
Gerakan Peristiwa Bendera Merah Putih 1946 dan penangkapan para pelaku
di kirim ke Jawa, hingga Manado diawasi ketat oleh pasukan komando Baret
Merah dan Hijau Belanda. Tetapi kehadiran Belanda di Manado tidak
mengatasi keadaan karena sering dihadapi oleh serbuan sporadis terutama
dari kelompok pemuda Tondano, Langowan dan Tomohon pimpinan Pratu (KNIL)
Laurens Saerang, mantan Angkatan Muda KNIL dari Morotai. Termasuk
penyerbuan pada 14 April ketika kelompok pemuda ini berusaha melucuti
markas militer di Teling. Sebelumnya di awal bulan April sekelompok
kecil pasukan KNIL pimpinan Sersan Tuturoong melakukan aksi membongkar
gudang senjata dari markas militer Teling. Bersama dengan
senjata-senjata yang di peroleh, mereka menuju ke Tomohon dan membagikan
kepada para pemuda pro Republik untuk menyerbu Manado. Penyerbuan di
markas militer KNIL Teling gagal karena diketahui dinas rahasia NEFIS,
dan dipatahkan oleh KNIL pimpinan Mayor Nues bersama korps komando Baret
Merah pimpinan Letnan Antoinette dan Baret Hijau pimpinan Letnan
Hetaria. Namun semangat juang pemuda mengusir Belanda dari Minahasa
tidak padam. Mereka didukung perwira-perwira TNI, Sumual, Gagola,
Ngantung dll. yang melakukan misi rahasia kampanye integrasi bekas
prajurit KNIL memasuki TNI dan menggalang aksi kekuatan menentang
Belanda. Penempatan sejumlah perwira asal Minahasa seperti
A.E.Kawilarang, Joop Warouw, Evert Langkey, dll. dalam jabatan teras TNI
mempengaruhi para bintara KNIL seperti Sersan Fourier Alex Mengko,
Sersan Fred Bolang, Sersan Phillip Tumonggor, Sersan Jootje Angkau,
Kopral Tuturoong dll. beralih berhaluan Republik. Termasuk di kalangan
anggota Baret Merah dan
Baret Hijau Belanda asal Sulawesi Utara.
Untuk mempertebal rasa kesatuan dan kebangsaan, prajurit-prajurit bekas
KNIL sering mengikuti berbagai pertemuan dengan kalangan Republik dan
mendengar pandangan nasionalisme. seperti Karel Supit, guru perguruan
Bhakti KRIS di Kawangkoan. Juga mengikuti berbagai rapat gerakan rahasia
dikantor surat kabar “Pikiran Rakyat” pimpinan Wolter Saerang dan
Hermanus. Dari pertemuan malam hari dirumah Bolang, ajakan Front Laskar
Pemuda (FLP) disetujui Fred Bolang. Pertemuan dilanjutkan dengan rencana
mengatur operasi penyerbuan di markas Batalyon Infantri XVIII (KNIL) di
Teling. Menurut rencana, Bolang bersama pasukannya akan bergabung
dengan para pemuda dan kalangan bintara KNIL lainnya dan menetapkan hari
H yang penuh rahasia. Hari H ditetapkan hari Selasa, 2 Mei jam 23.00
dimulai dengan penyerbuan markas militer Teling yang terbagi dalam dua
kelompok. Kelompok I (semuanya bertempat tinggal di Asrama Teling) pada
jam 23.00 melucuti semua senjata tentara KNIL di asrama dan membuka
gudang senjata dan amunisi. Kelompok II tepat jam 23.00 akan menyerbu
asrama Teling menerima senjata dan membantu dari kemungkinan perlawanan.
Semua kendaraan disiapkan di daerah Titiwungen oleh para pemuda yang
akan mengangkut pasukan menuju Tomohon untuk menyusun kubu pertahanan di
Tomohon dari kemungkinan perlawanan dari detasemen-detasemen KNIL dari
luar kota Manado. Pada 2 Mei jam 21.00 malam, Sersan Bolang dengan
seragam militer bersenjata lengkap berada didepan barak Teling Hitam.
Menurut rencana, Bolang akan mengumpulkan dan memimpin satu peleton
pasukan KNIL didampingi Kopral Tuturoong. Malam itu Bolang sedang
berjalan sendiri menuju markas militer Teling. Tiba-tiba saja sebuah jip
yang tidak terdengar derumannya berhenti disebelahnya. Sang pengemudi,
ternyata seorang Kapten Belanda, yang juga Komandan Kompi menyapa
singkat: “Stap in, Sergeant Bolang!” (naik, Sersan). Bolang sempat
terkejut, namun agar tidak dicurigai, ia ikut perintah dan naik jip yang
ternyata tidak menuju ke markas Teling. Ketika meliwati Sario, Bolang
mengira gerakan sudah bocor dan bakal ditahan di Markas CPM. Ternyata
jip melaju terus menuju markas Troepen Commandant. Setiba di markas
besar territorial, Bolang melihat semua perwira staf sedang berkumpul
karena di konsinyir. Sambil berjalan ia dimaki beberapa rekan bintara
(pro-Belanda): “Pengkhianat.” Bolang sempat naik pitam dan mencabut
pangkat dan dilempar pada mereka. Tetapi Kapten yang mendampingi,
memungut tanda pangkat sambil berkata: “Pangkat ini diberikan Kerajaan
Belanda.” Sang Kapten menenangkan suasana sambil memasang kembali tanda
pangkat pada kedua pundak Bolang, dan dipapah keruangan komandan menemui
Mayor Nues. Pada saat pertemuan, terdengar letusan peluru dari arah
Timur. Nues angkat telepon dan bertanya pada pos peninjau mengenai suara
letusan (ternyata tembakan peluru dilepaskan Kopral Tuturoong, anak
buah Bolang). Setelah menutup gagang telepon, Nues langsung bertanya
kepada Bolang: “Kenapa bisa terjadi begini?” Tetapi Bolang diam dan
hanya memperhatikan Nues yang bersungut sendiri. Percakapan terganggu
ketika tiba-tiba pintu dibuka oleh Kapten dan terlihat Sersan Angkau
masuk dan duduk disebelah Bolang. Kepada Angkau, ia bertanya berbisik:
“Kenapa kau kemari?” Angkau diam, tetapi tak berapa lama ia
menjerit-jerit sambil menggigil kedinginan seolah sakit. Kepada Kapten,
Mayor Nues bertanya: “Zeg Kapitein, wat scheelt hij, is hij ziek? Breng
hem terug (Kenapa dia Kapten, apa dia sakit? Bawa dia kembali ke asrama
Teling). Ternyata Angkow bersandiwara hingga tidak ditanya oleh Nues.
Pada jam 00.45 kembali terdengar suara berondongan tembakan dari
Bren-gun menggema dikegelapan malam dari arah Barat. Mayor Nues angkat
telepon meminta laporan Pos Peninjau. Setelah mendapat laporan (ternyata
juga dilepaskan oleh Kopral Tuturoong).Sambil meletak gagang telepon
mengarahkan matanya pada Bolang dan berkata: “Sersan Bolang, kalau
begini akan sulit. Nanti, bisa-bisa kita saling baku tembak.” Nues
menjelaskan bahwa pihaknya bermaksud akan melakukan promosi kenaikan
pangkat perwira dan jabatan kepada para prajurit pri-bumi, hingga semua
perwira staf di kumpulkan pada malam itu. “Saya akan membentuk satu
batalyon APRIS dan Komandan Batalyon adalah Onder Luitenant Purukan dan
Kepala Staf, Adjudanct Sembel. Purukan berpangkat Mayor dan Sembel
menjadi Kapten” ujar Nues. “Sedangkan anda berada dalam formasi sebagai
komandan Kompi IV berpangkat Kapten. Apakah anda sudah tahu?” sapa Nues
kepada Bolang. Sambil geleng kepala Bolang menjawab singkat: “Belum tahu
Mayor.” Nues melanjut: “Begini saja, saya percaya kau dapat atasi ini.
Kamu kembali ke Teling dan kumpulkan semua anak buah dan bawa mereka
kemari dan besok saya akan bicara, OK?” Percakapan berakhir ketika Nues
berdiri dan kemudian memanggil Kapten yang berada di luar. Ia kemudian
memerintahkan: “Kapten …, dan kembalikan Sersan Bolang ke Teling.”
Bolang lega, karena rencana penyerbuan ke markas Belanda tidak bocor.
Membelot ke Republik Setibanya di tangsi militer, Sersan Bolang segera
mengumpulkan prajurit di muka rumah jaga. Setelah terkumpul 78 prajurit,
iapun memimpin sebagai komandan barisan memberi aba-aba militer. Jumlah
dibagi dalam tiga peleton, masing-masing terdiri dari Peleton I
langsung dibawah pimpinannya, Peleton II dipimpin Sersan Angkow dan
Peleton III pimpinan Sersan Mengko. Setelah pasukan disiagakan, Sersan
Fred Bolang melapor kepada Kapten dan mengatakan pasukan sudah siap
menjalankan tugas agar esok hari memperoleh wejangan Mayor Nues di
Teling Hitam. Sang Kapten menanya kode (pengenalan pasukan). Bolang
segera jawab: “9 – 0.” Kapten menyambut: “OK.” Bolang memberi aba-aba:
“Pasang Sangkur.” Berlanjut dengan suara: “Voorwaarts… Mars!!!” (Majuud
Jalan!!!). Pasukan mulai bergerak keluar tangsi militer Teling. Saat
keluar di pintu gerbang, Sersan Bolang dikejuti bentakan kasar Letnan
Antoinette, komandan pasukan Baret Merah diikuti bawahannya: “…Hei
kemana kamu?.” Sambil berlari kecil mengikuti gerak langkah pasukan,
Bolang membentak balik: “Hou je beck (tutup bacotmu), ini perintah Mayor
Nues (troepen Commandant).” Setelah keluar asrama Teling, pasukan
langsung diarahkan menuju Titiwungen, tempat yang direncanakan Front
Laskar Pemuda (FLP). Mulanya para pemuda panik karena mengira rencana
sudah bocor dan mereka akan dibantai hingga lari tunggang langgang
mencari tempat sembunyi. Bolang mengerahkan satu regu untuk mencari
mereka. Setelah melihat Fred Bolang, kemudian Laurens Saerang, Wolter
Saerang, Lexy Annes, dll. keluar dari persembunyian dengan rasa haru.
Bolang bertanya: “Saudara-saudara, kita sudah siap. Siapa yang akan
memimpin operasi ini?” Diantara mereka menjawab: “Atas nama Pemuda,
kepemimpinan operasi kami serahkan kepada saudara Fred Bolang” (Pangkat
sudah tidak berlaku dan semua pasukan mencopot pangkat dan menjadi
pemuda pejuang bersama Laskar Front Pemuda).
Kronologi Gerakan 3 Mei
Semua Pasukan naik truk-truk yang disiapkan Lexy Gozal dan kawan-kawan
menuju Tomohon. Konvoi bergerak melakukan berbagai manouver seputar kota
Manado agar terhindar dari pencegatan. Kemudian keluar kota melalui
Airmadidi, Tenggari dan Tondano. Tiba di Tomohon pukul 03.00 subuh dan
disambut oleh RCL Lasut, Hukum Besar Tomohon/Tombariri. Pasukan
disiagakan menunggu kabar dari Manado diatur oleh Laurens Saerang, Sam
Ogi dan kawan-kawan membentuk jaringan intelejen. Pada jam 04.00
terdengar berita Belanda memindahkan senjata-senjata berat dari gudang
amunisi Teling. Pada waktu bersamaan, Mayor Sumual dan Kapten Piet
Ngantung bergerak menuju Tomohon untuk bergabung. Misi ini dirahasiakan,
karena bila ditangkap, kesemua operasi akan gagal dan menjadi sia-sia.
Setelah memperoleh laporan dari jaringan intel pemuda mengenai situasi
Manado yang sepi dari pertahanan KNIL, Bolang memimpin satu kompi
bersenjata lengkap menyerbu Manado pada jam 05.15. Sasaran utama
menyerbu semua markas KNIL dan merebut senjata. Setiba di Manado,
formasi kekuatan di bagi dan dua peleton bertugas mengepung markas
Komando/ Staf Kwartier dan satu peleton menutup simpang tiga Tanjung
Batu, Sario dan Jln. Sam Ratulangie. Aksi kudeta militer kedua (setelah
peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 berjalan mulus dan serba gerak
cepat. Pada Jam 10.00, Fred Bolang bersama Laurens Saerang memimpin
penyerbuan markas komando dan melucuti pasukan termasuk Mayor Nues yang
menyerah tanpa syarat. Semua pasukan KNIL di markas militer mengikuti
perintah pihak penyerbu dan masing-masing Dan-Yon yang didekap menjadi
sandera memerintahkan anak-buah mereka untuk tidak melawan dan
meletakkan senjata. Setelah penyerbuan singkat, seluruh pasukan penyerbu
meninggalkan basis pertahanan mereka dari Tomohon menuju Manado dan
menempati markas militer di Teling. Setelah menguasai keadaan,
dilanjutkan dengan upacara singkat dengan pernyataan penyerahan alih
kekuasaan militer dan pemerintahan sipil dari Mayor Nues kepada para
pemuda atas nama pemerintahan Republik Indonesia. Para perwira, bintara
berikut keluarga Belanda dikenakkan tahanan rumah. Keamanan dan logistik
tahanan di jamin dan diperlakukan dengan baik. Tetapi dilarang memasang
bendera Belanda untuk mencegah kemarahan pemuda. Sedangkan prajurit
KNIL yang tidak bergabung dengan LFP disuruh kembali kerumah
masing-masing dan diperkenankan membawa barang-barang pribadi milik
mereka. Setelah penyerahan alih kekuasaan, dilanjutkan dengan penurunan
bendera Merah Putih biru berganti dengan pengibaran sang saka Merah
Putih dipimpin Laurens Saerang.Pada jam 14.00, Manado dikuasai
sepenuhnya oleh barisan Republik, dan bendera merah putih berkibar di
berbagai pelosok kota Manado.
Simpang Siur Aksi militer di Manado
dan kekalahan Belanda dipantau oleh Panglima GOB, Kolonel Schotborg di
Makassar yang langsung terbang ke Manado keesokan harinya. Menjelang
pendaratan, Schotborg melakukan kontak radio dengan “pemberontak” dan
minta izin mendarat di lapangan Mapanget untuk menemui
troepen-commandant, Mayor Nues. Walau mendapat izin dari pimpinan pemuda
LFP, tetapi ketika pesawat pembom B-25 mendarat, Schotborg melihat
banyak prajurit berada di lapangan. Iapun tidak ingin mengambil risiko
untuk turun hingga pesawat terbang langsung lepas landas dan mengudara
meninggalkan Mapanget kembali ke Makassar. Berita peristiwa 3 Mei di
Manado cepat menyulut di Makassar, dan Kolonel Kawilarang mulanya
mendapat laporan sepihak dan seolah Manado dilanda aksi pemberontakan
terhadap TNI mirip aksi Andi Azis. Dari kalangan perwira Belanda
dilaporkan bahwa aksi militer dipimpin oleh Sersan Fred Bolang yang
katanya dikenal sangat radikal melakukan “Aksi Pemberontakan” di
Manado.Laporan ini sempat mempengaruhi markas besar KMTIT di Makassar,
seolah aksi tersebut berpihak kepada Belanda. Kolonel Kawilarang
memerintahkan Batalyon Worang dan Batalyon Mudjain berangkat ke Manado
untuk menumpas “pemberontakan 3 Mei.” Aksi militer 3 Mei di Manado juga
menggemparkan kalangan perwira Belanda di Jakarta. Kepala staf Belanda,
Mayor Jendral Pareira terbang ke Makassar menemui Kolonel Kawilarang.
Mereka mendesak agar pasukan KNIL yang akan di APRIS-kan, sebaiknya
tetap menjadi KNIL. Biar mereka mengatur dan memilih siapa-siapa saja
yang memenuhi syarat menjadi APRIS. Alasan Pareira: “Jika berontak cara
begini akan mengacaukan administrasi.” Tetapi Kawilarang dengan tegas
menolak desakan Pareira dengan jawaban: “Itu urusan kami, dan kami yang
me-reorganisasi mereka.” Hal ini sesuai keputusan KMB di Den Haag yang
sepakat membubarkan KNIL setelah pengakuan kedaulatan Belanda pada
RI.(KNIL dibentuk 10 Maret 1832 dan bubar 26 Juli 1950). Untuk
mengetahui situasi kota Manado, Let-Kol Warouw sebagai komandan KOMPAS
SUMU menyertakan Mayor Jendral Peraira menggunakan pesawat KNILM
(Koninklijk Nederlands Indiesch Luchtvaart Maatschappij) menuju Manado.
Sebelumnya, berita kedatangan Let-Kol Warouw bersama rombongan sudah
diketahui diterima oleh pimpinan Laskar Front Pemuda, Karel Supit dan
Alex Mengko. Pihak LFP memberi instruksi kepada para anggota untuk
menyambut rombongan dari Makassar yang tiba di lapangan terbang Mapanget
dengan upacara militer. Rombongan Warouw dari Makassar sempat terkejut
karena laporan di Makassar lain dengan kenyataan sebenarnya. Rombongan
disambut dengan upacara kebesaran militer sebagaimana lazimnya
penyambutan kepada tamu-tamu yang dihormati. Sambutan “Show of Force”
dan pasukan berbaris rapih dan di inspeksi Overste Warouw. Sedangkan
Mayor Jendral Pareira hanya menyaksikan dari pesawat karena LFP tidak
memperkenankan turun selama upacara berlangsung. Pareira juga dilarang
masuk kota Manado menemui Komandan Batalyon KNIL yang ditahan di Sario.
Pada hari itu juga Mayor Jendral Pareira kembali ke Makassar.
Pembentukan Batalyon 3 Mei
Kolonel Kawilarang lega setelah mengetahui keadaan sebenarnya dan untuk
pertama kali mengunjungi leluhurnya ketika berada di Manado pada 10
Mei. Dengan demikian meringankan beban dan berkonsentrasi menumpas RMS
di Maluku. Sedangkan Batalyon Worang mendarat pada 10 Mei juga disambut
hangat masyarakat Manado di organisir “pemberontak” LFP hingga Manado
terhindar dari konflik militer.
Peristiwa Gerakan 3 Mei menjadi nama
Batalyon dan dikukuhkan pada 20 Mei 1950 di lapangan Tikala. Let-Kol
Warouw atas nama pemerintah RI menganugerahkan Bintang Gerilya kepada
para pelaku. Batalyon 3 Mei terdiri dari bekas prajurit KNIL dengan
pemuda LFP dibentuk dengan susunan: Komandan: Mayor Alex Mengko; Wakil
Komandan dan Kepala Kompi Staf: Kapten Fred Bolang; Kompi I: Kapten Alex
Angkow; Kompi II: Kapten Tumonggor; Kompi III: Kapten Simon Pontoh;
Kompi IV: Kapten Lexi Anes; Kompi Bantuan: Kapten Laurens Saerang.
Ketkuatan senjata batalyon 3 Mei terdiri dari: 1000 pucuk senjata L.E., 4
Vickers Mitraliur, M-23, 3 Mortir 81, 100 pucuk sten-gun, dll. Seluruh
senjata yang direbut dari KNIL berjumlah 2500 pucuk termasuk sejumlah
peti amunisi peluru. Batalyon 3 Mei dikembangkan dengan merekrut pemuda
mengikuti pendidikan menjadi militer oleh para bekas prajurit KNIL yang
menjadi instruktur. Setelah pendidikan mereka kemudian disertakan dalam
operasi menumpas pemberontakan RMS di Maluku. Penugasan dilakukan oleh
Kolonel Kawilarang sebagai Panglima Panglima KTTIT (kemudian menjadi KO
TT-VII) pada bulan Juli 1950. Batalyon 3 Mei berkekuatan 1.000 pasukan
diberangkatkan dengan kapal “Waikelo” pimpinan Mayor Mengko dan Kapten
Fred Bolang. Disana mereka bergabung dengan kesatuan TNI dari Jawa dan
berhasil menghantam RMS yang berkekuatan sekitar 2.000 prajurit KNIL
yang berhasil di lumpuhkan dan Ambon direbut TNI pada 4 November 1950.
Sedangkan Manusama dan anggota RMS lainnya terbang ke Jakarta dan dengan
bantuan Belanda bermukim ke negeri Belanda. Soumokil dan sisa
pengikutnya lari ke Seram dan ditangkap pada 12 Desember 1963 di Wahai
oleh Batalyon Endjo dari Siliwangi. Soumokil di jatuhi hukuman mati oleh
Mahkamah militer di Jakarta pada 22 April 1964.
Masuk Siliwangi
Setelah penumpasan RMS, Batalyon 3 Mei mengalami pergantian pimpinan dan
Mayor Mengko diganti oleh Mayor Mamusung. Walau dibentuk di Manado,
namun setelah selesai operasi di Maluku, Batalyon ini tidak kembali ke
Manado tetapi mulai di sebar keberbagai kesatuan dan langsung dikirim ke
Jawa, dan oleh Kolonel Alex Kawilarang ditempatkan dalam kesatuan
Divisi Siliwangi. Setiba di Jakarta, Wadan Yon 3 Mei diserahkan kepada
Kapten G. H. Mantik. (Let-Jen (Purn.) TNI. Sedangkan Kapten Fred Bolang
bertugas sebagai Staf I TT-7 di Makassar. Setelah berada di Jakarta,
Batalyon 3 Mei dibagi dua, masing-masing di Jakarta di Kesatuan Korps
Cadangan, yang lainnya ditempatkan di Cimahi, Jawa Barat. Bagi kalangan
prajurit Batalyon 3 Mei, terutama eks-KNIL, daerah Jawa Barat tidak
asing, karena Bandung adalah Markas Besar Militer KNIL sebelum Perang
Dunia Kedua. Jawa Barat juga sudah di kenal masyarakat Sulawesi Utara
sejak 1880’an, ketika 5.000 pemuda Minahasa direkrut dan di didik
menjadi pasukan komando “Rangers” bersama rekan-rekan dari Jawa,
terutama asal Banyumas. Mereka di didik menjadi pasukan khusus dan
dilibatkan dalam berbagai ekspedisi militer. Banyak dari
mereka
berada di Subang, yang menjadi pusat latihan militer KNIL. Subang dan
daerah-daerah Jawa Barat bagian Selatan waktu itu sangat strategis dan
merupakan pusat perkebunan komoditi ekspor sebagai asset utama bagi
perekonomian Hindia-Belanda. Untuk itu keamanan di wilayah-wilayah ini
diprioritaskan hingga turunan Minahasa hidup turun temurun di Jawa
Barat. Sifat integratif dari masyarakat Minahasa di perantauan hingga
kota Bandung yang dikenal sebagai “student-centre” masyarakat kota
kembang ini berkembang menjadi masyarakat cosmopolitan. Hal ini terjadi
dengan pembauran kalangan pelajar asal aneka-ragam budaya etnik dari
berbagai penjuru pelosok nusantara. Dari turunan ini pula hingga muncul
pemuka-pemuka Perjuangan Laskar Pemuda KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia)
dan berperan aktif di masa revolusi kemerdekaan. Juga meniti karier
militer melalui Divisi Siliwangi yang berpusat di Bandung*
Harry Kawilarang
https://kaseger.wordpress.com/2011/05/02/batalyon-3-mei/