Showing posts with label OPERASI MILITER TNI. Show all posts
Showing posts with label OPERASI MILITER TNI. Show all posts

Monday, 9 May 2016

Aksi Militer tentara Belanda di Sumatera Selatan






  Agresi Militer II Belanda ke Wilayah RI di Sumbagsel
Di Daerah Sumatera Bagian Selatan Agresi Militer II Belanda dilakukan pada akhir desember 1948. Daerah pertama yang mendapat serangan adalah Jambi (28 Desember 1948), kemudian Sumatera Selatan (29 Desember 1948), Lampung (1 Januari 1949), dan Bengkulu (5 Januari 1949).
  1.  Jambi (28 Desember 1948)
Wilayah Keresidenan Jambi diserang oleh pasukan Belanda. Dibawah tanggung jawab Sub Territorium Djambi (STD) dipimpin Letnan Kolonel Abunjani. Membawahi tiga Batalion dan satu pasukan AURI , yaitu Batalion Sarolangun dipimpin Mayor Harun Sohar, Batalion Tanah Minyak dipimpin Kapten Slamet. Batalion Jambi dipimpin Kapten Marzuki (kemudian diganti Kapten Zainal Rivai) serta pasukan AURI yang dipimpin Kapten udara Suyono dan Letnan udara Maki Perdana Kesuma (Syafruddin. 389)
Serangan dilakukan dengan mengerahkan 14 pesawaat yang terdiri dari 9 Dacota, 4 pesawat B.25 dan sebuah pesawat Mustang. Kota Jambi dihujani peluru dan bom serta penyebaran berabagai pamlet dan Belanda juga menerjunkan pasukan payungnya di daerah Tanah Minyak (Tempino, Kenali asam dan Bajubang) tanggal 29 Desember 1948. Pasukan TNI dan buruh melakukan perlawanan dengan cara membumihanguskan objek-objek vital di Jambi. Pasukan Belanda menyebarkan pamlet untuk tidak membumihanguskan akan tetapi hal demikian membuat Pasukan TNI dan Buruh semakin gencar melakukan perlawanan. Pasukan TNI dipimpin Letnan Simatupang bersama barisan buruh minyak mengadakan perlawanan sengit di daerah Tempino, dalam pertempuran ini gugur 20 orang TNI (termasuk Letnan simatupang, 30 buruh minyak dan 5 orang polisi. Kapten Rivai, Kapten Marzuki memimpin pembakaran sumur minyak. 30 sumur minyak dibakar dan baru dapat dipadamkan selam 3 bulan.dan harus dibayar mahal dengan gugurnya Kapten Marzuki dan Kapten Sujono.
Setelah pertempuran itu Belanda berhasil menguasai produksi operasi minyak yang penting yaitu Tempino, Kenali asam dan Bajubang. Pasukan TNI mengundurkan diri ke luar kota sambil menyusun strategi untuk melakukan perang gerilya, dan kemudia dipilihlah Bangko tempat Sub Territorium Jambi Letnan Kolonel Abunjani dan staffnya.

Thursday, 18 February 2016

Brigjen Soeharto memeriksa kesiapan awak kapal Selam TNI AL

Soeharto


Brigjen Soeharto memeriksa kesiapan awak kapal Selam TNI AL.
Maj. Gen Soeharto, chief of trikora campaign for West Papua (latter known as 2nd Indonesian President) inspect submarine 1962

Tuesday, 1 December 2015

Batalion 3 Mei

Musicians from Indonesia's May 3rd Battalion barracks playing their home-made instruments; a bamboo fife, a cardboard and pipe horn and a drum






Kisah Terbentuknya Batalyon 3 Mei

Oleh : Harry Kawilarang

Pengakuan kedaulatan kerajaan Belanda terhadap Republik Indonesia pada 27 Desember 1949 menggema di berbagai pelosok nusantara. Termasuk Sulawesi Utara, wilayah paling utara Indonesia. Kondisi luar Jawa di Indonesia Timur di masa revolusi kemerdekaan antara 1945-1950 masih terpecah-pecah antara yang pro-integrasi dengan pro-Belanda. Pihak Belanda berusaha memanfaatkan untuk
mengembalikan kekuasaannya di Indonesia.Situasi ini merisaukan kalangan perwira TNI asal Indonesia Timur yang tergabung dalam kesatuan KRU-X (Korps Reserve Umum X). Wadah ini adalah bagian dari TNI Perjuangan (Bekas Laskar Rakyat) yang terbentuk pada pertengahan tahun 1948. Kesatuan ini dipimpin Let-Kol A.G. Lembong dengan wakilnya, Let-Kol J.F. Warouw didampingi Mayor H.N. Sumual, Letnan Satu Lendy Tumbelaka. Kapten Piet Ngantung, Kapten Eddy Gagola, Kapten Matulessi, Kapten E.J. Kanter. Kapten J. Mandang dll. Wadah kekuatan militer ini aktif di masa revolusi fisik di Jawa berkekuatan 4 batalyon tempur yang masing-masing terdiri dari: -.Batalyon “A” di Jawa Tengah, dibawah komando Kapten Palar; -.Batalyon “B” di Jawa Tengah dibawah komando Mayor H.V. Worang; -.Batalyon “C” di Jawa Timur dibawah komando Kapten A. Rifai; -.Batalyon “D” di Jawa Tengah dibawah komando Mayor A. Mattalata.Wadah KRU-X mengalami re-organisasi menjadi Brigade XVI dan giat memberangus pemberontakan PKI di Madiun dan juga gigih dalam pertempuran pada aksi agresi militer kedua pihak Belanda. Pada bulan Oktober 1948, Brigade XVI menyusun rencana membebaskan Kalimantan dan Indonesia Timur dari pengaruh Belanda. Let-Kol Lembong mempersiapkan Komando Groepen. Ia dibantu Kapten Piet Ngantung mengembangkan integrasi TNI terhadap prajurit eks-KNIL di Sulawesi Utara. Rencana penyerbuan Sulawesi Utara akan dilakukan dari Filipina yang pernah menjadi daerah perjuangan Lembong ketika menjadi anggota pasukan Sekutu melakukan perang gerilya melawan pasukan Jepang masa perang Pasifik Raya. Adanya rencana ini hingga kepemimpinan Brigade XVI dari Let-Kol Lembong di alih-tugaskan kepada Let-Kol Joop Warouw. Namun rencana keberangkatan pasukan pimpinan Let-Kol Lembong ke Filipina tidak kesampaian ketika Belanda melakukan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Yogyakarta diduduki dan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Syahrir ditangkap. Aksi militer Belanda itu juga menangkap Let-Kol Lembong bersama Kapten Leo Kailola. Let-Kol Lembong bersama beberapa prajurit tewas pada peristiwa penyerbuan APRA pimpinan Mayor Raymond Westerling di Bandung pada bulan Januari 1950.
Sekalipun aksi militer kedua Belanda sempat mempengaruhi rencana, tetapi proses integrasi tetap di jalankan oleh perwira-perwira TNI sudah yang diutus ke Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Pengadaan Komando Groepen Sulawesi Utara TNI dilakukan oleh Piet Ngantung menggalang kekuatan dibantu pemuda-pemuda setempat, yakni Frans Wowor, Sam Ogi, Lexi Anes dan Alo Tambuwun.
Suasana Indonesia Bagian Timur di Awal Pengakuan Kedaulatan Situasi Indonesia Timur sejak paska perang Pasifik tidak menentu. Walau di Jakarta tercetus proklamasi Indonesia merdeka yang terjadi akibat kevakuman pemerintahan setelah penguasa militer Jepang meletakkan senjata, setelah Kaisar Hirohito memaklumkan perang sudah berakhir dan menyerah kepada pihak Sekutu.
Menjelang akhir perang Pasifik Raya, sebagian besar dari kawasan Indonesia Timur yang berada di bawah pemerintahan Angkatan Laut Jepang,sudah diduduki pasukan Sekutu SWPA pimpinan Jendral Mac Arthur sejak awal tahun 1945. Kekalahan bermula sejak kekuatan Angkatan laut Jepang dilumpuhkan di Pasifik Barat Daya sbulan April 1943. Pihak Sekutu berhasil membangun poros kekuatan dari Pasifik Barat-Daya, membangun pangkalan militer di pulau Biak dan pulau Morotai dan menguasai Laut Maluku Utara hingga Laut Sulawesi. Dari Morotai, kekuatan sekutu melakukan pemboman terhadap posisi kekuatan Jepang di Ambon, Manado, Makassar dan Balikpapan diduduki oleh pasukan Australia.
Setelah perang berakhir, pihak Sekutu melakukan proses alih pemerintahan kepada pihak Belanda yang dikelola NICA (Netherlands Indiesch Civil Administration) di Indonesia Timur. Lembaga ini di dirikan oleh Dr. H. van Mook di Merauke, sebagai pemerintah pengasingan Hindia-Belanda pada masa perang Pasifik. Ternyata alih pemerintahan kepada pihak NICA berdampak buruk bagi citra sekutu dari masyarakat Indonesia Timur yang menolak kembalinya hegemoni Hindia-Belanda. Pergolakan tak terhindar dan melanda Kalimantan, Sulawesi dan Maluku hingga merepotkan militer Australia yang dijebak oleh Belanda memusuhi kalangan nasionalis. Padahal para nasionalis di Indonesia Timur turut membantu pasukan sekutu memerangi Jepang dalam berbagai aksi bawah tanah di masa pendudukan militer Jepang. Pembentukan KOMPAS-SUMU Sejak pengakuan kedaulatan, Brigade XVI di likwidasi dan berbagai personal dimutasi oleh Kementerian Pertahanan RI yang bermarkas di Yogyakarta. Ekspedisi ke daerah Seberang (Luar Jawa), di Indonesia Timur pimpinan Let-Kol. Joop Warouw sebagai komandan Pasukan Komando Sulawesi Utara-Maluku Utara (KOMPAS SUMU)pada bulan Mei 1950. Sebelumnya, Kementerian Pertahanan RI mengutus Mayor Ventje Sumual, Mayor Daan Mogot, Kapten Eddy Gagola dan Kapten Piet Ngantung ke Manado dengan tugas melakukan proses alih keamanan dari Komando territorial Militer Belanda kepada TNI dan mengatur para prajurit eks KNIL menjadi TNI di Sulawesi Utara. Antara bulan Desember 1949 – April 1950, banyak perwira asal Indonesia Timur bertugas sebagai unsur APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) di luar Jawa dan diperbantukan pada KMTIT (Komisi Militer Territorial Indonesia Timur) pimpinan Let-Kol Ahmad Yunus Mokoginta dan Ir. Putuhena. Diantara perwira-perwira TNI dari Brigade XVI terdapat Lettu J. Wowiling, Lettu H.
Montolalu, Lettu Lendy R. Tumbelaka, Kapten Usman Djaffar, Kapten M. Jusuf, Kapten Idrus, Lettu D. Nanlohy, Mayor Saleh Lahade, Lettu A, Sapada dll. Sedangkan Mayor Jendral Suhardjo ditugaskan menuju Banjarmasin bersama beberapa perwira Brigade XVI asal Kalimantan.
Alih militer dari KNIL menjadi TNI disalurkan melalui KMTIT ingin dibendung oleh Belanda dan berusaha mempengaruhi kalangan bintara KNIL menentang kedatangan pasukan TNI berintikan Brigade XVI pimpinan Let-Kol Joop Warouw.
Kampanye anti TNI di Indonesia Timur dilakukan Dr. Chris Soumokil didukung Kolonel Schotborg, Panglima Komando Territorial militer Belanda Wilayah Timur dan Kalimantan (GOB, Grote Oost en Borneo) melakukan sebaran anti TNI terhadap tentara KNIL menentang TNI di Ambon, Makassar dan Manado. Bahkan bermaksud memproklamasikan Negara Merdeka Indonesia Timur terpisah dari Republik Indonesia dengan membentuk garis pertahanan Makassar-Manado-Ambon dibawah “Plan Metekohi.” Kolonel Schotborg menghendaki agar anggota eks-KNIL di APRIS-kan dalam formasi Batalyon dan Kompi dan sudah terbentuk sebelum kedatangan pasukan TNI dari Jawa. Dalam usaha ini pihak Belanda mempengaruhi kalangan prajurit KNIL di Makassar, Manado dan Ambon. Akibat kampanye anti-TNI hingga timbul berbagai pergolakan daerah di Indonesia. Misalnya kerusuhan di Ambon di awal Januari 1950, aksi militer oleh prajurit-prajurit bekas KNIL terutama dari anti Belanda pada bulan April dan aksi militer pimpinan Kapten Andi Azis dan menyerang markas TNI di Makassar. Andi Azis sebelumnya adalah ajudan Wali Negara NIT, Sukowati dan bersama satu kompi KNIL resmi memasuki TNI pada 30 Maret. Namun sehari sebelumnya Andi Azis ditemui Dr.Chris Soumokil yang datang dari Manado dan bersama Kolonel Schotborg mempengaruhinya untuk menentang pendaratan Batalyon Worang di Makassar pada 5 April. Azis dipengaruhi bila APRIS terbentuk, tidak perlu kehadiran TNI. Soumokil juga mempengaruhi kalangan pejabat pemerintahan NIT dan berkampanye “negara Merdeka Indonesia Timur” di Makassar dukungan Belanda untuk memisahkan Indonesia dari RIS (Republik Indonesia Serikat) melalui “Plan Metekohi.” Andi Azis berhasil dipengaruhi Soumokil hingga melakukan aksi militer menentang TNI.
Pada 5 April pagi pasukan Andi Azis beraksi melakukan penyerbuan terhadap kediaman perwira-perwira TNI, terutama asrama CPM (dulu Verlengde Klapper Laan) Makassar dan menangkap Let-Kol A.J. Mokoginta dan perwira TNI lainnya. Pasukan Andi Azis memblokir Pelabuhan Makassar untuk membendung pendaratan Batalyon Worang pimpinan Mayor H.V. Worang. Akibat kemelut di Makassar hingga kapal-kapal “Waikelo” dan “Bontekoe” yang mengangkut pasukan Batalyon Worang dialihkan ke Balikpapan.
Operasi Pertiwi Untuk mengatasi kemelut Indonesia Timur dari ancaman separatisme, Menteri Pertahanan RIS, Letnan-Jendral Sultan Hamengku Buwono IX, atas instruksi Presiden Soekarno, sebagai Panglima Tertinggi RIS, mengangkat Kolonel Alex E. Kawilarang setelah bertugas melakukan integrasi TNI di Sumatera, diangkat menjadi Panglima Komando Tentara Teritorium Indonesia Timur (KMTIT) pada 15 April 1950. Kolonel A.E. Kawilarang menerapkan Operasi Pertiwi dengan dukungan kekuatan: Brigade Garuda Mataram, pimpinan Let-Kol Soeharto (Pr0esiden RI); Satuan Brawijaya, pimpinan Let-Kol Suprapto Sukawati; Satuan Siliwangi, pimpinan Let-Kol Kosasih. Kekuatan didukung satuan Brigade XVI dari: Batalyon Worang, pimpinan Mayor H.V. Worang dan Batalyon Mattalata pimpinan Mayor Andi Matalatta. Rencana pendahuluan penyerbuan ke Makassar dilakukan oleh Batalyon Worang pada 26 April tidak mengalami kesulitan, karena sehari sebelumnya Andi Azis sudah terbang dengan pesawat Catalina dan ke Jakarta, setelah sehari sebelumnyamenyerah dan pasukannya dilucuti dam di konsinyir di Makassar. Sebelumnya, pada 24 April malam, Andi Azis menemui Kolonel Kawilarang dan menyatakan ingin bergabung dengan TNI. Penyerahan diri Andi Azis berlangsung keesokan harinya kepada Let-Kol Soeharto. Penyerahan diri Andi Azis hingga pendaratan pasukan Worang di Makassar tidak mengalami perlawanan. Berlanjut dengan pendaratan pasukan induk Brigade XVI dari Surabaya beberapa hari kemudian dengan kapal pendarat LST di Makassar. Dengan kekuatan ini hingga pasukan TNI secara bertahap menggusur pengaruh KNIL di Makassar. Setelah berada di Makassar, Let-Kol Joop Warouw diangkat menjadi Komandan pasukan Sulawesi Utara Maluku Utara (KOMPAS SUMU) dengan tugas mengambil alih Komando Territorial Belanda (Troepen Comman-dant Noord Celebes) oleh Kementerian Pertahanan dari Yogyakarta. Mayor Suharyo ditunjuk sebagai Kepala Staf atas permintaan khusus dari Warouw kepada Let-Kol Zulkifli Lubis yang waktu itu menjabat Komandan organisasi Intel Kementerian Pertahanan. Kesatuan ini berintikan anggota Brigade XVI yang pernah melakukan perang gerilya di Gunung Kawi, Jawa Timur menghadapi pasukan SEAC (South East Asia Command) dibawah komando Inggris ketika melakukan pendaratan di Surabaya untuk menguasai Jawa. Diantara para perwira dari brigade ini terdapat antara lain Mayor Saleh Lahade, Mayor H.V. Worang, Mayor Rifai, Mayor Pieterz, Mayor Firmansyah, Mayor Mochtar, Mayor Abdullah, Kapten Pattinama, Kapten Padang, Kapten Tenges, Kapten Arie Supit, Kapten Somba, Kapten Wuisan, Letnan Lendy Tumbelaka, Letnan Maulwi Saelan, Letnan Andi Odang, Letnan Yan Ekel dll. Kesatuan KOMPAS SUMU selama berada di Makassar giat melakukan persiapan militer dalam usaha pendaratan mereka di Manado.
Usaha Belanda Melakukan Garis Pertahanan Makassar-Manado-Ambon Tidak berlanjutnya aksi pemberontakan Andi Azis mengecewakan Dr.Chris Soumokil penentang integrasi TNI dan menggunakan pesawat Pembom B-25 meninggalkan Makassar menuju Manado. Soumokil berusaha mempengaruhi pasukan eks-KNIL di Sulawesi Utara untuk menemui Sersan (KNIL) Mawikere, pimpinan TWAPRO guna memperoleh dukungan menentang integrasi TNI. Setiba di lapangan terbang Mapanget (kini bandar udara Sam Ratulangie), Soumokil tidak turun dan hanya mengirim utusan ke Manado dengan maksud menemui kelompok Mawikere. Tetapi kedatangan rombongan dibendung oleh kalangan pemuda, hingga misi Soumokil gagal dan kembali ke Ambon. Aksi menentang TNI berlanjut di Ambon ketika Chris Soumokil, Jaksa Tinggi NIT memproklamasikan Republik Maluku Selatan (RMS) pada 25 April dan menyatakan memisahkan diri dari NIT atau RIS. Cetusan proklamasi RMS di dukung Ir. Manusama, Han Boen Hiong dan sekitar 2.000 pasukan KNIL termasuk kesatuan komando Baret Merah dan Baret Biru. Proklamasi itu menempatkan Ir. Manusama sebagai Presiden RMS dengan Ambon sebagai pusat pemerintahan RMS. Untuk memperkuat kekuasaan rezim, pihak RMS menangkap Pupella cs. dari Partai Indonesia Merdeka (PIM) di Ambon yang pro Republik.
Situasi Manado Peristiwa Andi Azis sampai pula di Manado dan mendapat perhatian khusus dari kalangan kubu republik. Sebelumnya di akhir bulan Maret, di Manado diselenggarakan rapat militer Belanda oleh komandan garnisun di tangsi militer Reserve Corps KNIL di Wanea, Manado Selatan. Tujuan pertemuan itu, untuk membendung pendaratan pasukan TNI ke Minahasa. Sulawesi Utara waktu itu berada dibawah Komando militer KNIL Troepen Commando Noord Celebes, terdiri dari staf komando, dinas-dinas perhubungan dan logistik. Komando ini membawahi kurang lebih satu batalyon infantri, satuan cadangan, Reserve Corps KNIL, dinas radio/ PHB, polisi militer dan satuan logistik. Sebagian besar dari kalangan prajurit dan bintara adalah turunan Minahasa. Sedangkan perwira-perwira staf dari komandan batalyon, kompi hinga peleton adalah kulit-turunan Belanda. Sedangkan pangkat pri-bumi hanya Prajurit Dua dan paling tinggi Pembantu Letnan Dua. Pertemuan itu berusaha mematangkan “Rencana Metekohi”, membentuk garis pertahanan Makassar-Manado-Ambon dihadiri militer Belanda yang khusus di kirim Kolonel Schotborg dari Makassar. Pertemuan itu berusaha meraih kesepakatan menggagalkan proses alih keamanan militer dari Komando Teritorial Belanda kepada TNI di Indonesia Timur. Rapat itu mengusulkan mengaktifkan kembali prajurit-prajurit pensiunan KNIL (Papo) dibawah naungan (Reserve Corps KNIL Manado). Tetapi usulan tersebut di tentang keras oleh kalangan anggota KNIL pri-bumi yang cenderung berpihak pada RI. Sebagian besar anti-pati berada dibawah kekuasaan Belanda, yang dinilai takut berperang. Wibawa perwira Belanda juga turun di kalangan pasukan pri-bumi karena langsung menyerah pada Jepang tanpa perlawanan. Banyak dari mereka ini yang berhasil lolos dari penangkapan Jepang, bergabung dengan Sekutu dan gigih bertempur di Guadalcanal, Filipina dan perebutan berbagai kota di Indonesia menghadapi Jepang. Namun sejak Perang Dunia Kedua usai, banyak dari mereka kecewa, karena harus kembali berada dibawah pimpinan Belanda. Mereka kembali mendapat perlakuan diskriminatif dari bekas kolonialnya. Bermula dari komentar Kopral Y Salmon, sekalipun berpangkat rendah dan hanya menjabat sebagai staf schrijver (juru-tulis bagian personalia KNIL), Salmon kritis mengemukakan komentarnya. Pada forum itu Yan Salmon dengan lantang mengatakan: “…Bahwa pada kenyataannya, Kerajaan Belanda telah mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Pengakuan ini secara otomatis menempatkan Minahasa merdeka dan secara otomatis pula masuk kedalam wilayah Indonesia. Jika kami sebagai prajurit KNIL asal Minahasa melawan TNI, bukankah itu suatu pengkhianatan?” Pada bagian lain Salmon mengemukakan: “…Kalaupun terjadi pertempuran antara kami dengan saudara-saudara kami dari TNI, dan yang terbunuh terdapat para pensiunan prajurit-prajurit KNIL asal Minahasa yang sudah tua dan sudah lemah fisik, siapa yang menjamin dan membayar pensiun keluarga mereka? Terus terang mereka tidak mau mati konyol!” Komentar Kopral Salmon ternyata mempengaruhi suasana rapat dan semua yang hadir hening seketika, dan para perwira Belanda sempat terbelalak dengan pandangan kritis itu. Para pensiunan yang hadir terdiam dan sama sekali tidak menyanggah pandangan Kopral Salmon. Pandangan dan pertanyaan Salmon tidak memperoleh jawaban tegas dari perwira-perwira Belanda hingga menimbulkan antipati hadirin. Pada pertemuan itu, para perwira Belanda gagal menguasai keadaan dan tidak berhasil menggolkan konsep mengaktifkan kembali para pensiunan KNIL di Sulawesi Utara. Padahal waktu itu Dr. Soumokil juga di utus markas militer Belanda di Makassar menghadiri pertemuan itu di Manado. Namun bekas Jaksa Tinggi NIT yang memvonis mati pemuda Kawanua, Wolter Monginsidi (pahlawan Nasional) di Makassar (di hukum mati pada 5 September 1949). Setelah utusan militer Belanda gagal melakukan misi
mewujudkan rencana Metekohi di Manado, Soumokil bersama para perwira Belanda terbang menuju Makassar untuk menghasut Andi Azis memberontak.
Kudeta di Minahasa Raad Pada pertengahan April terjadi perdebatan sengit di Dewan Minahasa (waktu itu Minahasa Raad), Manado. Sebelumnya lembaga legislatif dikuasai kelompok TWAPRO (Twaalfde provintie) pimpinan Mawikere yang pro-Belanda. Namun pengaruh TWAPRO menurun tajam terutama di kalangan bekas prajurit-prajurit KNIL yang pernah bertempur baik di front peperangan Pasifik dibawah naungan AS, maupun di Asia-Tenggara dibawah komando Inggris. Tetapi setelah kembali dari peperangan, mereka kembali harus berada dibawah komando Belanda. Mereka juga kecewa, karena tiada jaminan keselamatan dan keamanan yang dilakukan pihak militer Belanda terhadap keluarga mereka yang ditinggalkan di Jawa. Banyak dari keluarga mereka di-bantai oleh pemuda-pemuda radikal ekstrimis dengan tuduhan sebagai “anjing NICA.” Mereka ini disiksa tanpa perlawanan seperti aksi pembantaian yang terjadi di Sala-tiga. Pembantaian ini dapat dihentikan oleh Laskar KRIS. Dampak aksi militer 14 Februari 1946 oleh Sersan Taulu cs. telah menimbulkan ketidak senangan kalangan bekas prajurit eks-KNIL asal Sulawesi Utara karena menjadi korban diskriminasi kolonialisme Belanda. Di awal pasca perang dunia kedua, situasi politik di Sulawesi Utara terpecah-pecah oleh berbagai kelompok baik yang pro maupun anti-republik seperti dari barisan Republik, Unitaris, Federalis, Hoofden Bond, Twapro (Twaalfde Provintie) dll. Kelompok Twapro yang menguasai Dewan Minahasa menghadapi aksi barisan oposisi, GIM (Gerakan Indonesia Merdeka)dengan pemukanya, Uttu J.A Maengkom (mantan Menteri Kehakiman RI), dan didukung kalangan pemuda pro-Republik terutama dari Tomohon, Langowan dan Tondano. Kegagalan utusan Kolonel Schotborg melakukan kampanye anti-TNI pada pertemuan Wanea ternyata mempengaruhi posisi TWAPRO di Minahasa Raad (Dewan Minahasa). Pada sidang Dewan Minahasa di Manado, pihak TWAPRO berusaha meriah dukungan rencana Metekohi. Tetapi mendapat reaksi hebat barisan oposisi melalui perdebatan seru. Dari perdebatan ini terjadi keraguan dari kelompok pro Belanda ketika pihak oposisi mengingatkan bakal terjadi perang saudara dan Manado dilanda banjir darah. Lagi pula masyarakat di Sulawesi Utara jenuh dengan peperangan dan tidak ingin mengulangi penderitaan yang dan pernah di alami pada masa pendudukan Jepang. Para orang-tua juga tidak ingin lagi mengorbankan putera-putera mereka digunakan untuk bertarung dalam berbagai pertempuran baik untuk Sekutu maupun oleh Jepang. Argumentasi kalangan republik terhadap ancaman perang saudara, karena yang di hadapi adalah barisan pemuda dukungan Angkatan Muda KNIL terutama dari Morotai penentang Belanda. Situasi ini menguntungkan barisan pro Republik dan berhasil melakukan aksi “Kudeta” di Dewan Minahasa.
Awal Gerakan 3 Mei Di Manado pada Selasa 25 April 1950, jam 20.00 malam, rumah Sersan (KNIL) Fred Bolang (Brig-Jen Purn. TNI AD) ditemui Laurens Saerang, Lexi Anes dan Frans Wowor dari kelompok Front Laskar Pemuda (FLP) yang mengenakan jaket Merah Putih. Pada pertemuan itu Bolang di ajak bergabung dengan Republik memimpin operasi militer bersama pemuda melakukan kudeta terhadap Belanda. Bolang dipilih karena pengalamannya sebagai militer profesional. Prestasi militer Bolang dikenal sebagai pasukan khusus Sekutu dibawah komando Mayor Tom Harrisson dari Inggris ketika memimpin perang gerilya melawan tentara Jepang di pedalaman Kalimantan. Sekembalinya di Minahasa, Bolang sering dikenal vokal terhadap penguasa Belanda. Sekalipun Bolang tidak terlibat pada Gerakan 14 Februari 1946, tetapi ia dicurigai militer Belanda di Manado. Jebolan bintara KNIL Angkatan 1939 di Gombong disegani karena prestasinya dan berperang sebagai prajurit profesional hingga Fred Bolang menyandang berbagai penghargaan militer dari Sekutu. Antara lain, “British Empire Medal,” dari Inggris, oleh Laksamana Mountbatten, “Pacific Medal,” dari Panglima Sekutu, Jendral Mac Arthur, bintang militer “Ridderlijke Orde” dari Belanda oleh Letnan Jendral Spoor, Panglima militer Belanda di Indonesia karena prestasi militer masa perang dunia kedua. Dari prestasinya itu hingga Bolang luput dari penangkapan. Tidak berlanjutnya Gerakan Peristiwa Bendera Merah Putih 1946 dan penangkapan para pelaku di kirim ke Jawa, hingga Manado diawasi ketat oleh pasukan komando Baret Merah dan Hijau Belanda. Tetapi kehadiran Belanda di Manado tidak mengatasi keadaan karena sering dihadapi oleh serbuan sporadis terutama dari kelompok pemuda Tondano, Langowan dan Tomohon pimpinan Pratu (KNIL) Laurens Saerang, mantan Angkatan Muda KNIL dari Morotai. Termasuk penyerbuan pada 14 April ketika kelompok pemuda ini berusaha melucuti markas militer di Teling. Sebelumnya di awal bulan April sekelompok kecil pasukan KNIL pimpinan Sersan Tuturoong melakukan aksi membongkar gudang senjata dari markas militer Teling. Bersama dengan senjata-senjata yang di peroleh, mereka menuju ke Tomohon dan membagikan kepada para pemuda pro Republik untuk menyerbu Manado. Penyerbuan di markas militer KNIL Teling gagal karena diketahui dinas rahasia NEFIS, dan dipatahkan oleh KNIL pimpinan Mayor Nues bersama korps komando Baret Merah pimpinan Letnan Antoinette dan Baret Hijau pimpinan Letnan Hetaria. Namun semangat juang pemuda mengusir Belanda dari Minahasa tidak padam. Mereka didukung perwira-perwira TNI, Sumual, Gagola, Ngantung dll. yang melakukan misi rahasia kampanye integrasi bekas prajurit KNIL memasuki TNI dan menggalang aksi kekuatan menentang Belanda. Penempatan sejumlah perwira asal Minahasa seperti A.E.Kawilarang, Joop Warouw, Evert Langkey, dll. dalam jabatan teras TNI mempengaruhi para bintara KNIL seperti Sersan Fourier Alex Mengko, Sersan Fred Bolang, Sersan Phillip Tumonggor, Sersan Jootje Angkau, Kopral Tuturoong dll. beralih berhaluan Republik. Termasuk di kalangan anggota Baret Merah dan
Baret Hijau Belanda asal Sulawesi Utara. Untuk mempertebal rasa kesatuan dan kebangsaan, prajurit-prajurit bekas KNIL sering mengikuti berbagai pertemuan dengan kalangan Republik dan mendengar pandangan nasionalisme. seperti Karel Supit, guru perguruan Bhakti KRIS di Kawangkoan. Juga mengikuti berbagai rapat gerakan rahasia dikantor surat kabar “Pikiran Rakyat” pimpinan Wolter Saerang dan Hermanus. Dari pertemuan malam hari dirumah Bolang, ajakan Front Laskar Pemuda (FLP) disetujui Fred Bolang. Pertemuan dilanjutkan dengan rencana mengatur operasi penyerbuan di markas Batalyon Infantri XVIII (KNIL) di Teling. Menurut rencana, Bolang bersama pasukannya akan bergabung dengan para pemuda dan kalangan bintara KNIL lainnya dan menetapkan hari H yang penuh rahasia. Hari H ditetapkan hari Selasa, 2 Mei jam 23.00 dimulai dengan penyerbuan markas militer Teling yang terbagi dalam dua kelompok. Kelompok I (semuanya bertempat tinggal di Asrama Teling) pada jam 23.00 melucuti semua senjata tentara KNIL di asrama dan membuka gudang senjata dan amunisi. Kelompok II tepat jam 23.00 akan menyerbu asrama Teling menerima senjata dan membantu dari kemungkinan perlawanan. Semua kendaraan disiapkan di daerah Titiwungen oleh para pemuda yang akan mengangkut pasukan menuju Tomohon untuk menyusun kubu pertahanan di Tomohon dari kemungkinan perlawanan dari detasemen-detasemen KNIL dari luar kota Manado. Pada 2 Mei jam 21.00 malam, Sersan Bolang dengan seragam militer bersenjata lengkap berada didepan barak Teling Hitam. Menurut rencana, Bolang akan mengumpulkan dan memimpin satu peleton pasukan KNIL didampingi Kopral Tuturoong. Malam itu Bolang sedang berjalan sendiri menuju markas militer Teling. Tiba-tiba saja sebuah jip yang tidak terdengar derumannya berhenti disebelahnya. Sang pengemudi, ternyata seorang Kapten Belanda, yang juga Komandan Kompi menyapa singkat: “Stap in, Sergeant Bolang!” (naik, Sersan). Bolang sempat terkejut, namun agar tidak dicurigai, ia ikut perintah dan naik jip yang ternyata tidak menuju ke markas Teling. Ketika meliwati Sario, Bolang mengira gerakan sudah bocor dan bakal ditahan di Markas CPM. Ternyata jip melaju terus menuju markas Troepen Commandant. Setiba di markas besar territorial, Bolang melihat semua perwira staf sedang berkumpul karena di konsinyir. Sambil berjalan ia dimaki beberapa rekan bintara (pro-Belanda): “Pengkhianat.” Bolang sempat naik pitam dan mencabut pangkat dan dilempar pada mereka. Tetapi Kapten yang mendampingi, memungut tanda pangkat sambil berkata: “Pangkat ini diberikan Kerajaan Belanda.” Sang Kapten menenangkan suasana sambil memasang kembali tanda pangkat pada kedua pundak Bolang, dan dipapah keruangan komandan menemui Mayor Nues. Pada saat pertemuan, terdengar letusan peluru dari arah Timur. Nues angkat telepon dan bertanya pada pos peninjau mengenai suara letusan (ternyata tembakan peluru dilepaskan Kopral Tuturoong, anak buah Bolang). Setelah menutup gagang telepon, Nues langsung bertanya kepada Bolang: “Kenapa bisa terjadi begini?” Tetapi Bolang diam dan hanya memperhatikan Nues yang bersungut sendiri. Percakapan terganggu ketika tiba-tiba pintu dibuka oleh Kapten dan terlihat Sersan Angkau masuk dan duduk disebelah Bolang. Kepada Angkau, ia bertanya berbisik: “Kenapa kau kemari?” Angkau diam, tetapi tak berapa lama ia menjerit-jerit sambil menggigil kedinginan seolah sakit. Kepada Kapten, Mayor Nues bertanya: “Zeg Kapitein, wat scheelt hij, is hij ziek? Breng hem terug (Kenapa dia Kapten, apa dia sakit? Bawa dia kembali ke asrama Teling). Ternyata Angkow bersandiwara hingga tidak ditanya oleh Nues. Pada jam 00.45 kembali terdengar suara berondongan tembakan dari Bren-gun menggema dikegelapan malam dari arah Barat. Mayor Nues angkat telepon meminta laporan Pos Peninjau. Setelah mendapat laporan (ternyata juga dilepaskan oleh Kopral Tuturoong).Sambil meletak gagang telepon mengarahkan matanya pada Bolang dan berkata: “Sersan Bolang, kalau begini akan sulit. Nanti, bisa-bisa kita saling baku tembak.” Nues menjelaskan bahwa pihaknya bermaksud akan melakukan promosi kenaikan pangkat perwira dan jabatan kepada para prajurit pri-bumi, hingga semua perwira staf di kumpulkan pada malam itu. “Saya akan membentuk satu batalyon APRIS dan Komandan Batalyon adalah Onder Luitenant Purukan dan Kepala Staf, Adjudanct Sembel. Purukan berpangkat Mayor dan Sembel menjadi Kapten” ujar Nues. “Sedangkan anda berada dalam formasi sebagai komandan Kompi IV berpangkat Kapten. Apakah anda sudah tahu?” sapa Nues kepada Bolang. Sambil geleng kepala Bolang menjawab singkat: “Belum tahu Mayor.” Nues melanjut: “Begini saja, saya percaya kau dapat atasi ini. Kamu kembali ke Teling dan kumpulkan semua anak buah dan bawa mereka kemari dan besok saya akan bicara, OK?” Percakapan berakhir ketika Nues berdiri dan kemudian memanggil Kapten yang berada di luar. Ia kemudian memerintahkan: “Kapten …, dan kembalikan Sersan Bolang ke Teling.” Bolang lega, karena rencana penyerbuan ke markas Belanda tidak bocor.
Membelot ke Republik Setibanya di tangsi militer, Sersan Bolang segera mengumpulkan prajurit di muka rumah jaga. Setelah terkumpul 78 prajurit, iapun memimpin sebagai komandan barisan memberi aba-aba militer. Jumlah dibagi dalam tiga peleton, masing-masing terdiri dari Peleton I langsung dibawah pimpinannya, Peleton II dipimpin Sersan Angkow dan Peleton III pimpinan Sersan Mengko. Setelah pasukan disiagakan, Sersan Fred Bolang melapor kepada Kapten dan mengatakan pasukan sudah siap menjalankan tugas agar esok hari memperoleh wejangan Mayor Nues di Teling Hitam. Sang Kapten menanya kode (pengenalan pasukan). Bolang segera jawab: “9 – 0.” Kapten menyambut: “OK.” Bolang memberi aba-aba: “Pasang Sangkur.” Berlanjut dengan suara: “Voorwaarts… Mars!!!” (Majuud Jalan!!!). Pasukan mulai bergerak keluar tangsi militer Teling. Saat keluar di pintu gerbang, Sersan Bolang dikejuti bentakan kasar Letnan Antoinette, komandan pasukan Baret Merah diikuti bawahannya: “…Hei kemana kamu?.” Sambil berlari kecil mengikuti gerak langkah pasukan, Bolang membentak balik: “Hou je beck (tutup bacotmu), ini perintah Mayor Nues (troepen Commandant).” Setelah keluar asrama Teling, pasukan langsung diarahkan menuju Titiwungen, tempat yang direncanakan Front Laskar Pemuda (FLP). Mulanya para pemuda panik karena mengira rencana sudah bocor dan mereka akan dibantai hingga lari tunggang langgang mencari tempat sembunyi. Bolang mengerahkan satu regu untuk mencari mereka. Setelah melihat Fred Bolang, kemudian Laurens Saerang, Wolter Saerang, Lexy Annes, dll. keluar dari persembunyian dengan rasa haru. Bolang bertanya: “Saudara-saudara, kita sudah siap. Siapa yang akan memimpin operasi ini?” Diantara mereka menjawab: “Atas nama Pemuda, kepemimpinan operasi kami serahkan kepada saudara Fred Bolang” (Pangkat sudah tidak berlaku dan semua pasukan mencopot pangkat dan menjadi pemuda pejuang bersama Laskar Front Pemuda).
Kronologi Gerakan 3 Mei Semua Pasukan naik truk-truk yang disiapkan Lexy Gozal dan kawan-kawan menuju Tomohon. Konvoi bergerak melakukan berbagai manouver seputar kota Manado agar terhindar dari pencegatan. Kemudian keluar kota melalui Airmadidi, Tenggari dan Tondano. Tiba di Tomohon pukul 03.00 subuh dan disambut oleh RCL Lasut, Hukum Besar Tomohon/Tombariri. Pasukan disiagakan menunggu kabar dari Manado diatur oleh Laurens Saerang, Sam Ogi dan kawan-kawan membentuk jaringan intelejen. Pada jam 04.00 terdengar berita Belanda memindahkan senjata-senjata berat dari gudang amunisi Teling. Pada waktu bersamaan, Mayor Sumual dan Kapten Piet Ngantung bergerak menuju Tomohon untuk bergabung. Misi ini dirahasiakan, karena bila ditangkap, kesemua operasi akan gagal dan menjadi sia-sia. Setelah memperoleh laporan dari jaringan intel pemuda mengenai situasi Manado yang sepi dari pertahanan KNIL, Bolang memimpin satu kompi bersenjata lengkap menyerbu Manado pada jam 05.15. Sasaran utama menyerbu semua markas KNIL dan merebut senjata. Setiba di Manado, formasi kekuatan di bagi dan dua peleton bertugas mengepung markas Komando/ Staf Kwartier dan satu peleton menutup simpang tiga Tanjung Batu, Sario dan Jln. Sam Ratulangie. Aksi kudeta militer kedua (setelah peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 berjalan mulus dan serba gerak cepat. Pada Jam 10.00, Fred Bolang bersama Laurens Saerang memimpin penyerbuan markas komando dan melucuti pasukan termasuk Mayor Nues yang menyerah tanpa syarat. Semua pasukan KNIL di markas militer mengikuti perintah pihak penyerbu dan masing-masing Dan-Yon yang didekap menjadi sandera memerintahkan anak-buah mereka untuk tidak melawan dan meletakkan senjata. Setelah penyerbuan singkat, seluruh pasukan penyerbu meninggalkan basis pertahanan mereka dari Tomohon menuju Manado dan menempati markas militer di Teling. Setelah menguasai keadaan, dilanjutkan dengan upacara singkat dengan pernyataan penyerahan alih kekuasaan militer dan pemerintahan sipil dari Mayor Nues kepada para pemuda atas nama pemerintahan Republik Indonesia. Para perwira, bintara berikut keluarga Belanda dikenakkan tahanan rumah. Keamanan dan logistik tahanan di jamin dan diperlakukan dengan baik. Tetapi dilarang memasang bendera Belanda untuk mencegah kemarahan pemuda. Sedangkan prajurit KNIL yang tidak bergabung dengan LFP disuruh kembali kerumah masing-masing dan diperkenankan membawa barang-barang pribadi milik mereka. Setelah penyerahan alih kekuasaan, dilanjutkan dengan penurunan bendera Merah Putih biru berganti dengan pengibaran sang saka Merah Putih dipimpin Laurens Saerang.Pada jam 14.00, Manado dikuasai sepenuhnya oleh barisan Republik, dan bendera merah putih berkibar di berbagai pelosok kota Manado.
Simpang Siur Aksi militer di Manado dan kekalahan Belanda dipantau oleh Panglima GOB, Kolonel Schotborg di Makassar yang langsung terbang ke Manado keesokan harinya. Menjelang pendaratan, Schotborg melakukan kontak radio dengan “pemberontak” dan minta izin mendarat di lapangan Mapanget untuk menemui troepen-commandant, Mayor Nues. Walau mendapat izin dari pimpinan pemuda LFP, tetapi ketika pesawat pembom B-25 mendarat, Schotborg melihat banyak prajurit berada di lapangan. Iapun tidak ingin mengambil risiko untuk turun hingga pesawat terbang langsung lepas landas dan mengudara meninggalkan Mapanget kembali ke Makassar. Berita peristiwa 3 Mei di Manado cepat menyulut di Makassar, dan Kolonel Kawilarang mulanya mendapat laporan sepihak dan seolah Manado dilanda aksi pemberontakan terhadap TNI mirip aksi Andi Azis. Dari kalangan perwira Belanda dilaporkan bahwa aksi militer dipimpin oleh Sersan Fred Bolang yang katanya dikenal sangat radikal melakukan “Aksi Pemberontakan” di Manado.Laporan ini sempat mempengaruhi markas besar KMTIT di Makassar, seolah aksi tersebut berpihak kepada Belanda. Kolonel Kawilarang memerintahkan Batalyon Worang dan Batalyon Mudjain berangkat ke Manado untuk menumpas “pemberontakan 3 Mei.” Aksi militer 3 Mei di Manado juga menggemparkan kalangan perwira Belanda di Jakarta. Kepala staf Belanda, Mayor Jendral Pareira terbang ke Makassar menemui Kolonel Kawilarang. Mereka mendesak agar pasukan KNIL yang akan di APRIS-kan, sebaiknya tetap menjadi KNIL. Biar mereka mengatur dan memilih siapa-siapa saja yang memenuhi syarat menjadi APRIS. Alasan Pareira: “Jika berontak cara begini akan mengacaukan administrasi.” Tetapi Kawilarang dengan tegas menolak desakan Pareira dengan jawaban: “Itu urusan kami, dan kami yang me-reorganisasi mereka.” Hal ini sesuai keputusan KMB di Den Haag yang sepakat membubarkan KNIL setelah pengakuan kedaulatan Belanda pada RI.(KNIL dibentuk 10 Maret 1832 dan bubar 26 Juli 1950). Untuk mengetahui situasi kota Manado, Let-Kol Warouw sebagai komandan KOMPAS SUMU menyertakan Mayor Jendral Peraira menggunakan pesawat KNILM (Koninklijk Nederlands Indiesch Luchtvaart Maatschappij) menuju Manado. Sebelumnya, berita kedatangan Let-Kol Warouw bersama rombongan sudah diketahui diterima oleh pimpinan Laskar Front Pemuda, Karel Supit dan Alex Mengko. Pihak LFP memberi instruksi kepada para anggota untuk menyambut rombongan dari Makassar yang tiba di lapangan terbang Mapanget dengan upacara militer. Rombongan Warouw dari Makassar sempat terkejut karena laporan di Makassar lain dengan kenyataan sebenarnya. Rombongan disambut dengan upacara kebesaran militer sebagaimana lazimnya penyambutan kepada tamu-tamu yang dihormati. Sambutan “Show of Force” dan pasukan berbaris rapih dan di inspeksi Overste Warouw. Sedangkan Mayor Jendral Pareira hanya menyaksikan dari pesawat karena LFP tidak memperkenankan turun selama upacara berlangsung. Pareira juga dilarang masuk kota Manado menemui Komandan Batalyon KNIL yang ditahan di Sario. Pada hari itu juga Mayor Jendral Pareira kembali ke Makassar.
Pembentukan Batalyon 3 Mei
Kolonel Kawilarang lega setelah mengetahui keadaan sebenarnya dan untuk pertama kali mengunjungi leluhurnya ketika berada di Manado pada 10 Mei. Dengan demikian meringankan beban dan berkonsentrasi menumpas RMS di Maluku. Sedangkan Batalyon Worang mendarat pada 10 Mei juga disambut hangat masyarakat Manado di organisir “pemberontak” LFP hingga Manado terhindar dari konflik militer.
Peristiwa Gerakan 3 Mei menjadi nama Batalyon dan dikukuhkan pada 20 Mei 1950 di lapangan Tikala. Let-Kol Warouw atas nama pemerintah RI menganugerahkan Bintang Gerilya kepada para pelaku. Batalyon 3 Mei terdiri dari bekas prajurit KNIL dengan pemuda LFP dibentuk dengan susunan: Komandan: Mayor Alex Mengko; Wakil Komandan dan Kepala Kompi Staf: Kapten Fred Bolang; Kompi I: Kapten Alex Angkow; Kompi II: Kapten Tumonggor; Kompi III: Kapten Simon Pontoh; Kompi IV: Kapten Lexi Anes; Kompi Bantuan: Kapten Laurens Saerang. Ketkuatan senjata batalyon 3 Mei terdiri dari: 1000 pucuk senjata L.E., 4 Vickers Mitraliur, M-23, 3 Mortir 81, 100 pucuk sten-gun, dll. Seluruh senjata yang direbut dari KNIL berjumlah 2500 pucuk termasuk sejumlah peti amunisi peluru. Batalyon 3 Mei dikembangkan dengan merekrut pemuda mengikuti pendidikan menjadi militer oleh para bekas prajurit KNIL yang menjadi instruktur. Setelah pendidikan mereka kemudian disertakan dalam operasi menumpas pemberontakan RMS di Maluku. Penugasan dilakukan oleh Kolonel Kawilarang sebagai Panglima Panglima KTTIT (kemudian menjadi KO TT-VII) pada bulan Juli 1950. Batalyon 3 Mei berkekuatan 1.000 pasukan diberangkatkan dengan kapal “Waikelo” pimpinan Mayor Mengko dan Kapten Fred Bolang. Disana mereka bergabung dengan kesatuan TNI dari Jawa dan berhasil menghantam RMS yang berkekuatan sekitar 2.000 prajurit KNIL yang berhasil di lumpuhkan dan Ambon direbut TNI pada 4 November 1950. Sedangkan Manusama dan anggota RMS lainnya terbang ke Jakarta dan dengan bantuan Belanda bermukim ke negeri Belanda. Soumokil dan sisa pengikutnya lari ke Seram dan ditangkap pada 12 Desember 1963 di Wahai oleh Batalyon Endjo dari Siliwangi. Soumokil di jatuhi hukuman mati oleh Mahkamah militer di Jakarta pada 22 April 1964.
Masuk Siliwangi Setelah penumpasan RMS, Batalyon 3 Mei mengalami pergantian pimpinan dan Mayor Mengko diganti oleh Mayor Mamusung. Walau dibentuk di Manado, namun setelah selesai operasi di Maluku, Batalyon ini tidak kembali ke Manado tetapi mulai di sebar keberbagai kesatuan dan langsung dikirim ke Jawa, dan oleh Kolonel Alex Kawilarang ditempatkan dalam kesatuan Divisi Siliwangi. Setiba di Jakarta, Wadan Yon 3 Mei diserahkan kepada Kapten G. H. Mantik. (Let-Jen (Purn.) TNI. Sedangkan Kapten Fred Bolang bertugas sebagai Staf I TT-7 di Makassar. Setelah berada di Jakarta, Batalyon 3 Mei dibagi dua, masing-masing di Jakarta di Kesatuan Korps Cadangan, yang lainnya ditempatkan di Cimahi, Jawa Barat. Bagi kalangan prajurit Batalyon 3 Mei, terutama eks-KNIL, daerah Jawa Barat tidak asing, karena Bandung adalah Markas Besar Militer KNIL sebelum Perang Dunia Kedua. Jawa Barat juga sudah di kenal masyarakat Sulawesi Utara sejak 1880’an, ketika 5.000 pemuda Minahasa direkrut dan di didik menjadi pasukan komando “Rangers” bersama rekan-rekan dari Jawa, terutama asal Banyumas. Mereka di didik menjadi pasukan khusus dan dilibatkan dalam berbagai ekspedisi militer. Banyak dari
mereka berada di Subang, yang menjadi pusat latihan militer KNIL. Subang dan daerah-daerah Jawa Barat bagian Selatan waktu itu sangat strategis dan merupakan pusat perkebunan komoditi ekspor sebagai asset utama bagi perekonomian Hindia-Belanda. Untuk itu keamanan di wilayah-wilayah ini diprioritaskan hingga turunan Minahasa hidup turun temurun di Jawa Barat. Sifat integratif dari masyarakat Minahasa di perantauan hingga kota Bandung yang dikenal sebagai “student-centre” masyarakat kota kembang ini berkembang menjadi masyarakat cosmopolitan. Hal ini terjadi dengan pembauran kalangan pelajar asal aneka-ragam budaya etnik dari berbagai penjuru pelosok nusantara. Dari turunan ini pula hingga muncul pemuka-pemuka Perjuangan Laskar Pemuda KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia) dan berperan aktif di masa revolusi kemerdekaan. Juga meniti karier militer melalui Divisi Siliwangi yang berpusat di Bandung*

Harry Kawilarang

https://kaseger.wordpress.com/2011/05/02/batalyon-3-mei/

Sunday, 19 July 2015

Kisah Heroik Letkol Ignatius Slamet Rijadi dalam memimpin Serangan Umum Surakarta




Pak Met adalah panggilan anak buah kepada komandan mereka Letkol Slamet Rijadi, Letkol Slamet Rijadi adalah seorang tokoh penting dalam sejarah perjuangan melawan tentara Belanda di kota Solo. Letkol Slamet Rijadi adalah salah satu penggagas rencana Serangan Umum Surakarta. Sebagaimana tanggungjawab dan tugas yang diemban oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi, mengharuskannya untuk selalu berkeliling dan berpindah tempat, guna melakukan koordinasi dan konsolidasi pasukan yang tersebar di berbagai SWK. Seperti terjadi pada awal Agustus 1949, Letnan Kolonel Slamet Riyadi sedang berada di pos Rayon I, wilayah Bekonang, sekitar delapan kilometer sebelah timur kota Solo. Pada saat bersamaan, ia ikut mendengarkan laporan yang disampaikan oleh KaStaf Rayon I, kepada yang diwakilinya yaitu komandan Rayon I (Rayon Timur), dalam rapat yang diadakan oleh Mayor Akhmadi selaku komandan SWK 106 Arjuna. Dalam rapat komando yang mengundang seluruh komandan Rayon itu (seluruhnya ada lima Rayon), Komandan SWK 106 Arjuna mengeluarkan surat Perintah Siasat No. 1/8/Swk/A-3/Ps-49, tentang serangan besar-besaran ke dalam kota, pada 7 Agustus 1949. Segera setelah itu Slamet Riyadi kembali ke markas komandonya dan mengeluarkan Surat Perintah No. 0181Co.P.P.SJ 49, tertanggal 8 Agustus 1949, berisi perintah mengadakan serangan perpisahan tanggal 10 Agustus 1949, menjelang dilaksanakannya gencatan senjata tanggal 11 Agustus 1949 (berlaku mulai pukul 00.00).


Penting diketahui, bahwa perintah siasat yang dikeluarkan oleh Mayor Akhmadi tersebut hanya ditujukan bagi seluruh pasukan yang dipimpinnya, yaitu Sub Wehrkreise (SWK) 106 Arjuna, yang terdiri dari lima rayon, dengan wilayah operasi kota Solo dan sekitarnya. Situasi yang berkembang di awal Agustus 1949 itu, berkaitan dengan perintah Panglima Tertinggi Angkatan Perang/Presiden RI tentang penghentian permusuhan, yang sempat memunculkan terjadinya kesalah-pahaman di antara pimpinan WK I (Letnan Kolonel Slamet Riyadi) dan pimpinan SWK 106 Arjuna (Mayor Akhmadi), demikian pula dengan jajaran di bawahnya. Persoalan ini akhirnya dapat diselesaikan oleh staf Gubernur Militer II dan Gubernur Militer II selanjutnya menyerahkan kebijaksanaan penanggulangan gencatan senjata kepada Mayor Akhmadi, dengan kedudukan sebagai Komandan KMK (komando militer kota) Solo.

Pertempuran Menyerang Posisi tentara Belanda
Pada tanggal 7 agustus 1949 dimulai SU pada pukul 06.00 pagi. Pada hari tersebut pasukan SWK 106 Arjuna telah menyusup dahulu dan mulai menguasai kampung-kampung dalam kota Solo. Ketika waktu ditetapkan telah tiba pasukan TNI yang telah masuk kota menyerang dari semua penjuru, memaksa tentara Belanda terkonsentrasi di markas-markas mereka. Serangan itu meliputi markas komando KL 402 Jebres, sebuah pos di Jurug, Jagalan, kompleks BPM-Balapan, serta markas artileri medan di Banjarsari.

Pada hari kedua 8 Agustus 1949, pertempuran berlangsung hingga tengah malam, TNI membantu serangan itu dengan memasang berbagai rintangan di jalan-jalan di sekitar daerah Pasar Kembang. Namun Belanda mencium rencana itu, kemudian menangkapi orang-orang yang berada di sekitarnya. Terdapat 26 (dua puluh enam) orang, termasuk wanita dan anak-anak yang berhasil ditangkap pihak Belanda, 24 (dua puluh empat) di antaranya dihabisi. Ke 24 orang itu terdiri dari 10 (sepuluh) orang laki-laki, termasuk seorang anggota TNI/TP, 6 (enam) orang wanita, dan 8 (delapan) anak-anak. Pada saat itulah seluruh pasukan dari SWK (Sub Wehrkreis) 100 sampai 105 mulai dikerahkan untuk membantu serangan hari pertama dengan sasaran seluruh kota Solo dan Letnan Kolonel Slamet Riyadi mulai memegang komando mengantikan Mayor Akhmadi.

Tambahan pasukan ini semakin memperkuat serangan pasukan SWK 106 yang intinya dari DEN TP Brigade XVII.Akibatnya pasukan Belanda semakin terdesak karena pasukan dari Brigade V menyekat kekuatan lawan dan menghambat bantuan lawan di luar kota Solo. Konvoi Belanda dari Semarang bahkan tidak dapat memasuki kota Solo karena dihambat oleh pasukan TNI di Salatiga.

Untuk membantu pasukanya yang terjebak di Solo, Belanda bahkan mulai mengerahkan 2 Bomber (tdk diketahui jenisnya) dan 4 pesawat Mustang ditambah pasukan para yang diterjunkan ke Lanud Panasan (sekarang Adiseomarmo). Tapi bantuan ini gagal mengubah arah pertermpuran dimana Tentara Belanda di Solo makin terkepung dan hampir seluruh bagian kota Solo dikuasai oleh TNI.

Pada hari ketiga, 9 Agustus 1949 dikisahkan, Belanda semakin membabi-buta dalam membalas serangan, dibantu oleh pasukan KST (Korps Spesiale Troepen), menembak setiap lelaki yang dijumpainya. Dalam peristiwa ini, seorang komandan regu Seksi I Kompi I, Sahir gugur di daerah pertempuran Panularan.

Hari keempat, 10 Agustus 1949 sebagaimana diperintahkan oleh komandan Wehrkreise I Brigade V, Letnan Kolonel Slamet Riyadi, TNI melaksanakan serangan perpisahan menandai akhir masa serangan umum empat hari. Dengan demikian meningkatkan moril pasukan gerilya TP. Pertempuran itu terus berlangsung hingga tengah malam, menjelang dimulainya masa gencatan senjata pada pukul 00.00 tanggal 11 Agustus 1949. Sementara itu pihak tentara Belanda, sebagai pembalasan atas tewasnya 2 (dua) anggota KL, pada hari yang semestinya sudah berlaku gencatan senjata, yaitu pukul 11.00, memaksa keluar rumah baik penduduk lelaki maupun wanita, untuk kemudian membantainya, serta membakar rumah mereka dengan alat penyembur api. Peristiwa ini terjadi di daerah Pasar Nangka. Tercatat 36 (tiga puluh enam) nyawa melayang akibat tindakan ini, termasuk 5 (lima) wanita dan seorang bayi.

Secara taktis, serangan hari keempat ini berhasil menguasai seluruh wilayah kota. Pada kesempatan itu, Letnan Kolonel Slamet Riyadi selaku komandan Wehrkreise I (Brigade V/II) memerintahkan kepada Mayor Akhmadi selaku komandan SWK 106, untuk menarik seluruh pasukan ke garis tepi kota, sebagai pelaksanaan ceasefire order, atau gencatan senjata. Memang pada kenyataannya pelaksanaan gencatan senjata tidak sesegera itu berlangsung dengan aman. Masih terjadi beberapa insiden yang melibatkan kedua belah pihak yang bertempur. Satu di antaranya berlangsung di sebelah Timur Gapura Gading, berlangsung baku tembak dari arah pos Belanda ke arah 2 (dua) anggota TNI, yang mengakibatkan satu di antaranya gugur, satu luka ringan. Insiden ini berawal dari upaya pihak Belanda yang mencoba menambah pasukan dengan meminta bantuan dari Semarang, dalam hal ini pasukan khusus Baret Hijau (Green Cap) atau KST. Tanpa mengindahkan mulai berlakunya masa gencatan senjata, pasukan yang dikenal kejam ini pada sekitar pukul 2 atau 3 dinihari justru melakukan pembantaian di markas PMI (Palang Merah Indonesia), di wilayah Gading. Adalah kediaman Dr.Padmonoegoro, ketua PMI cabang Surakarta yang menjadi sasaran serangan itu, saat itu menjadi tempat mengungsi sebagian penduduk sekitar. Kekejaman tentara Baret Hijau Belanda ditunjukkan dengan membantai para pengungsi dengan tanpa melepaskan tembakan sama sekali, namun dengan cara menyembelihnya. Dalam pembantaian dini hari ini, tercatat 14 (empat belas) petugas PMI gugur, ditambah 8 (delapan) orang pengungsi tewas, sementara 3 (tiga) orang lainnya yang juga menjadi korban penyembelihan tidak sampai tewas.

Peristiwa yang terjadi Pasca Gencatan Senjata
Akibat dari serangan gencar dan bertubi-tubi yang dilakukan oleh pihak TNI maka taktis seluruh wilayah kota Solo berada di pihak TNI,  maka untuk menghindari korban yang lebi besar di pihak tentara Belanda maka Belanda melakukan penawaran perundingan dan melakukan gencatan senjata dengan pihak TNI. Akan tetapi tentara Belanda seringkali melanggar perjanjian gencatan senjata tersebut  Pada tanggal 11 Agustus terjadi banyak pelanggaran perjanjian gencatan senjata oleh pasukan khusus Baret Hijau (KST/Korps Speciale Troepen) yang menewaskan banyak penduduk sipil antara lain: di Sambeng-32 orang tewas, di pasar Nongko-67 tewas,di Serengan-47 orang tewas,di Padmonegaran Gading-21 tewas,di Pasar Kembang-24 orang tewas. Situasi tersebut mendorong terjadinya pertempuran apalagi pasukan TNI terutama pihak DEN II TP Brigade XVII tidak mau menerima perjanjian ini karena hampir seluruh Kota Solo telah berhasil diduduki dalam serangan umum tersebut dan pihak Belanda telah jelas-jelas melanggar pada tanggal 11 agustus 1949.

Selain itu Mayor Akhmadi juga mengeluarkan kebijakan yang berbeda dan menimbulkan situasi kontradiktif. Kebijakannya ini dilakukan dengan beberapa alasan. Pertama, tetap memegang teguh tugasnya sebagai komandan Komando Militer Kota (KMK Solo), dengan tugas teritorialnya, berdasar pengangkatan langsung dari MBAP (Markas Besar Angkatan Perang) pada bulan April 1948. Dalam kaitan ini, tugas-tugas lebih sering diperintahkan langsung oleh Panglima Tertinggi Divisi II/Gubernur Militer Jawa Tengah yang berkedudukan di Sala, Kolonel Gatot Soebroto, yang pada saat gencatan senjata diberlakukan masih dalam keadaan sakit dan berada di Yogyakarta. Kedua, sebagai pemimpin tertinggi militer wilayah Surakarta, Kolonel Gatot Soebroto belum mencabut instruksinya No. 16A tertanggal 18 Juni 1949, yang salah satu instruksinya berbunyi: “anggota angkatan Perang dan Pegawai Pemerintah Sipil, sekeluarnya instruksi ini harus berjuang terus, selama belum ada perintah cease fire dari kami sendiri, meski ada perintah dari instansi manapun”. Untuk menegaskan sikapnya itu, Mayor Akhmadi mengeluarkan instruksi No. 1/Dari/Cdt/8-49 tanggal 11 Agustus 1949, pukul 24.00:
  • Tidak bertanggung jawab atas penarikan mundur pasukan-pasukan.
  • Bertekad tetap bertanggung jawab menjaga keselamatan dan ketenteraman rakyat.
  • Apabila Belanda mengganggunya, maka komandan-komandan sektor harus bertindak di daerahnya masing-masing. (Ofensif TNI Empat Hari di Kota Sala dan Sekitarnya, 137.)

Demikianlah, pada satu sisi, terdapat perintah untuk menarik mundur pasukan dengan kembali ke posisi semula (pos-pos), pada lain pihak masih memegang teguh perintah untuk menempati posisi yang berhasil direbut. Di tengah situasi sebagaimana dipaparkan di atas, di kediaman Ir. Seseto Hadinegoro, atau Istana Kembang Banowati di jalan Bayangkara, berlangsung kontak resmi antara Komandan Pasukan Belanda, Kolonel Van Ohl, dengan Komandan Brigade V/II, Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Pertemuan sebagai tindak lanjut gencatan senjata yang berlangsung dari pukul 14.00 dan berakhir pukul 16.30 itu membuahkan kesepakatan sebagai berikut:
  • Untuk mengurangi terjadinya perselisihan, Kol. Ohl meminta dengan sangat:
  1. TNI ditarik mundur ke tepi batas kota.
  2. Rintangan-rintangan jalan disingkirkan.
  • Pihak Belanda berjanji:
  1. Teror Belanda tak akan terulang.
  2. Tidak akan diadakan pembalasan terhadap rakyat yang membantu TNI.
  3. Teroris-teroris telah diurus oleh Krijgsraad (pengadilan).
  4. Mulai tanggal 12-8-1949 pasukan Belanda akan dikonsinyir di tempat masing-masing.
  • Setiap teror dari pihak Belanda supaya dilaporkan kepada Komandan TNI.
  • Penyerahan kota Solo akan diserahkan dalam bulan ini juga (Agustus 1949).(Ofensif TNI Empat Hari di Kota Solo dan Sekitarnya, 130)
Menindak lanjuti hasil pertemuan ini Letnan Kolonel Slamet Riyadi sebagai Komandan Wehrkreise I segera mengeluarkan Perintah Harian kepada seluruh jajarannya untuk menaati perintah Presiden Panglima Tertinggi/Panglima Perang tertanggal 3 Agustus 1949 tentang gencatan senjata, untuk dilaksanakan.

Sempat terjadi perbedaan pendapat antara Brigade V dengan Den II TP Brigade XVII.Mayor Ahmadi berpegang teguh pada perintah Panglima Divisi II Kol Gatot Subroto.Mayor Ahmadi menginstruksikan agar pasukan TP tetap dalam sektor masing-masing dengan posisi terakhir dan tidak bertanggung jawab terhadap penarikan pasukan ke batas kota dan memerintahkan apabila Belanda melanggar lagi agar ditindak oleh masing-masing sektor. Sedang pihak Brigade V berpegang teguh pada : Berlakunya gencatan senjata tanggal 3-10 agustus 1949, yang berminat berunding adalah Belanda yang sedang terdesak, dan mengurangi kekejaman pasukan Belanda terhadap sipil. Sebagai tanggung jawab seorang komandan, akhirnya Letnan Kolonel Slamet Riyadi mengeluarkan penjelasan secara panjang lebar tentang proses perundingan serta kesepakatannya, dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Penjelasan yang diberikannya disertai rasa tanggung jawab akhirnya dapat diterima dan dipercayai oleh pasukanya.

Di lain pihak, setelah mendengar laporan perkembangan situasi dari anak buahnya, Kepala Staf Gubernur Militer II, Letnan Kolonel Suprapto akhirnya mengambil dua tindakan, yaitu mengutus dua orang anggota TP untuk menemui dan meminta ketegasan sikap Gubernur Militer, tentang situasi mutakhir. Kedua, Kepala Staf mengeluarkan instruksi No. 16/In/Ks/8/I, tanggal 16 Agustus 1949, berisi; “secara formil, dengan didasarkan atas instruksi atasan yang tertentu situasi yang tercipta dalam hubungan kita dengan pihak Belanda belum dianggap resmi.”

Situasi ini akhirnya dapat didinginkan oleh Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto, setelah dikeluarkannya Perintah Harian No. 18/Ks/PH/8/I, tanggal 18 Agustus 1949, yang isinya memerintahkan kepada komandan Brigade V/Div. II, untuk menyerahkan penyelesaian dan penyelenggaraan akibat situasi yang dicapai dengan penghentian tembak-menembak, kepada komandan SWK 106 Arjuna. Dengan kewenangannya, Mayor Akhmadi menindak-lanjuti perundingan gencatan senjata dengan kesepakatan: pihak Indonesia menempati daerah yang telah didudukinya dan pihak Belanda di tempat semula. Pada tanggal 24 Agustus 1949 urusan keamanan kota diserahkan kepada Mayor Ahmadi selaku Komandan Komando Militer Kota (KMK) Solo.


Referensi : https://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_Umum_Surakarta

Sunday, 1 February 2015

foto TNI tempo dulu

Soeharto-Operasi Mandala
 foto Brigjen Soeharto terlihat sedang mencatat di buku kecil sambil menghisap rokok
P-51 Mustang milik AURI
Foto P-51 Mustang milik AURI

Monday, 26 January 2015

Yon Pomad Para

Latar belakang
Batalyon Pomad Para didirikan tahun 1960, dalam rangka mendukung Operasi Trikora, merebut Irian Barat, yang dipimpin oleh Panglima Mandala Mayjen TNI Soeharto. Batalyon Pomad Para berada dalam lingkungan Kostrad, dilatih sebagian besar di Batujajar, oleh Pusdik Komando AD, lingkup penugasannya selalu tandem dengan Resimen Para Komado AD/RPKAD, yang dipimpin oleh Kolonel Inf Sarwo Edhi. Sesuai dengan lingkup penugasannya, maka Batalion Pomad Para oleh Letnan Kolonel CPM Norman Sasono diberlakukan sistem kepemimpinan extra keras, mirip dengan RPKAD, karena itu para anggota Pomad Para dikirim ke Pusdik Pasus Batujajar untuk menempuh Kwalifikasi Pasukan Komando, ambil baret merah dan berbagai kemampuan terjun tempur seperti Pandu Udara/Pathfinder.

Satgas Pomad Para

Sekitar akhir tahun 1965, keadaan politik di Indonesia sedang mengalami pembenahan secara menyeluruh. Krisis politik terjadi dialami merupakan akibat lebih lanjut dari meletusnya peristiwa G30S/PKI. Berdasarkan Surat Perintah Menteri Panglima Angkatan Darat Nomor PRIN.75/III/1966 tanggal 23 Maret 1966, yang berisi tentang perintah kepada Direktur Polisi Militer Angkatan Darat (Brigjen TNI Sudirgo), maka dilaksanakannyalah serah terima penugasan dari Resimen Tjakrabirawa kepada Polis Militer Angkatan Darat. Tidak lebih dari tiga hari setelah serah terima pelaksanaan tugas pengawalan terhadap Kepala Negara berlangsung, Direktur Polisi Militer dengan serta merta mengeluarkan Surat Keputusan dengan Nomor : Kep-011/AIII/1966 tanggal 25 Maret 1966 yang berisi tentang pembentukan Satuan Tugas Polisi Militer Angkatan Darat (Satgas POMAD) yang menunjuk Letkol Cpm Norman Sasono sebagai Komandan Satgas Pomad Para.

Dengan tugas mengawal Kepala Negara RI dan Istana Negara, serta melaksanakan tugas – tugas protokoler kenegaraan, Satgas Pomad Para berkedudukan dibawah Direktorat Polisi Militer yang terdiri dari dua Batalyon Pomad, satu Batalyon Infanteri Para Raider, serta satu Detasemen Kaveleri Panser.

Batalyon I Pomad Para berkedudukan di Jalan Tanah Abang II Jakarta Pusat yang dulunya digunakan sebagai Markas serta Asrama Resimen Tjakrabirawa. Tugas pokok Batalyon I Pomad Para yakni, Melaksanakan pengawalan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya, serta Tamu Asing setingkat Kepala Negara, melaksankan pengawalan Istana Merdeka Utara, Istana Merdeka Selatan serta kediaman resmi Presiden dan Wakil Presiden.

Untuk Batalyon II Pomad Para berkedudukan di Ciluer – Bogor yang sebelumnya digunakan sebagai asrama Batalyon I Pomad Para. Tugas Batalyon II Pomad Para yang berkedudukan di Ciluer, bertugas melaksanakan pengawalan Istana Bogor, Istana Cipanas, serta membantu Batalyon I Pomad Para dalam melaksanakan tugas pokoknya. Batalyon Kaveleri Serbu Kodam V Jaya tetap di BP kan ke Satgas Pomad, sedangkan Batalyon 531/Para Raiders selanjutnya ditarik kembali ke Kodam Brawijaya untuk bertugas dilingkungan angkatan Darat.
Yon Pomad Para
 Tampak dari belakang lensa Letkol CPM Norman Sasono sedang memerika barisan Yon Pomad Para, 1965
Yon POMAD PARA-1

Foto prajurit dari Yon Pomad Para dalam melakukan penjagaan di gedung pengadilan Mahmilub yang sedang melakukan persidangan terhadap tersangka tahanan politik yang terlibat pemberontakan G30S/PKI, 1966

Satgas Pomad Para

Thursday, 22 January 2015

foto Kendaraan TNI yang hancur

Truck Dodge TNI 

Tampak dalam gambar adalah Truck Dodge Power Wagon milik TNI yg hancur akibat kecelakaan, th 1950

Sunday, 12 October 2014

Perlawanan RMS

dr.soumokil tokoh pemberontakan rms
Dr. Soumokil ketika turun dari kendaraan tahanan militer dan di kawal oleh anggota Polisi Militer
Christiaan Robbert Steven Soumokil, atau lebih lebih dikenal dengan Dr. Soumokil adalah salah satu tokoh perlawanan dari Republik Maluku Selatan (RMS), beliau di lahirkan di Surabaya pada tanggal 13 Oktober 1905 dan wafat di Pulau Obi pada tanggal 12 April 1966 setelah menjalani sidang di mahkamah militer di Jakarta dengan dijatuhi hukuman mati di depan regu tembak .
Selama masa mudanya Soumokil besar di Surabaya dan melanjutkan ke pendidikan tinggi di Belanda dengan mengambil studi di bidang hukum di Universitas Leiden, setelah lulus pada tahun 1934 Soumokil kembali ke Indonesia dan menjabat pejabat hukum.