Sunday, 19 July 2015

Kisah Heroik Letkol Ignatius Slamet Rijadi dalam memimpin Serangan Umum Surakarta




Pak Met adalah panggilan anak buah kepada komandan mereka Letkol Slamet Rijadi, Letkol Slamet Rijadi adalah seorang tokoh penting dalam sejarah perjuangan melawan tentara Belanda di kota Solo. Letkol Slamet Rijadi adalah salah satu penggagas rencana Serangan Umum Surakarta. Sebagaimana tanggungjawab dan tugas yang diemban oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi, mengharuskannya untuk selalu berkeliling dan berpindah tempat, guna melakukan koordinasi dan konsolidasi pasukan yang tersebar di berbagai SWK. Seperti terjadi pada awal Agustus 1949, Letnan Kolonel Slamet Riyadi sedang berada di pos Rayon I, wilayah Bekonang, sekitar delapan kilometer sebelah timur kota Solo. Pada saat bersamaan, ia ikut mendengarkan laporan yang disampaikan oleh KaStaf Rayon I, kepada yang diwakilinya yaitu komandan Rayon I (Rayon Timur), dalam rapat yang diadakan oleh Mayor Akhmadi selaku komandan SWK 106 Arjuna. Dalam rapat komando yang mengundang seluruh komandan Rayon itu (seluruhnya ada lima Rayon), Komandan SWK 106 Arjuna mengeluarkan surat Perintah Siasat No. 1/8/Swk/A-3/Ps-49, tentang serangan besar-besaran ke dalam kota, pada 7 Agustus 1949. Segera setelah itu Slamet Riyadi kembali ke markas komandonya dan mengeluarkan Surat Perintah No. 0181Co.P.P.SJ 49, tertanggal 8 Agustus 1949, berisi perintah mengadakan serangan perpisahan tanggal 10 Agustus 1949, menjelang dilaksanakannya gencatan senjata tanggal 11 Agustus 1949 (berlaku mulai pukul 00.00).


Penting diketahui, bahwa perintah siasat yang dikeluarkan oleh Mayor Akhmadi tersebut hanya ditujukan bagi seluruh pasukan yang dipimpinnya, yaitu Sub Wehrkreise (SWK) 106 Arjuna, yang terdiri dari lima rayon, dengan wilayah operasi kota Solo dan sekitarnya. Situasi yang berkembang di awal Agustus 1949 itu, berkaitan dengan perintah Panglima Tertinggi Angkatan Perang/Presiden RI tentang penghentian permusuhan, yang sempat memunculkan terjadinya kesalah-pahaman di antara pimpinan WK I (Letnan Kolonel Slamet Riyadi) dan pimpinan SWK 106 Arjuna (Mayor Akhmadi), demikian pula dengan jajaran di bawahnya. Persoalan ini akhirnya dapat diselesaikan oleh staf Gubernur Militer II dan Gubernur Militer II selanjutnya menyerahkan kebijaksanaan penanggulangan gencatan senjata kepada Mayor Akhmadi, dengan kedudukan sebagai Komandan KMK (komando militer kota) Solo.

Pertempuran Menyerang Posisi tentara Belanda
Pada tanggal 7 agustus 1949 dimulai SU pada pukul 06.00 pagi. Pada hari tersebut pasukan SWK 106 Arjuna telah menyusup dahulu dan mulai menguasai kampung-kampung dalam kota Solo. Ketika waktu ditetapkan telah tiba pasukan TNI yang telah masuk kota menyerang dari semua penjuru, memaksa tentara Belanda terkonsentrasi di markas-markas mereka. Serangan itu meliputi markas komando KL 402 Jebres, sebuah pos di Jurug, Jagalan, kompleks BPM-Balapan, serta markas artileri medan di Banjarsari.

Pada hari kedua 8 Agustus 1949, pertempuran berlangsung hingga tengah malam, TNI membantu serangan itu dengan memasang berbagai rintangan di jalan-jalan di sekitar daerah Pasar Kembang. Namun Belanda mencium rencana itu, kemudian menangkapi orang-orang yang berada di sekitarnya. Terdapat 26 (dua puluh enam) orang, termasuk wanita dan anak-anak yang berhasil ditangkap pihak Belanda, 24 (dua puluh empat) di antaranya dihabisi. Ke 24 orang itu terdiri dari 10 (sepuluh) orang laki-laki, termasuk seorang anggota TNI/TP, 6 (enam) orang wanita, dan 8 (delapan) anak-anak. Pada saat itulah seluruh pasukan dari SWK (Sub Wehrkreis) 100 sampai 105 mulai dikerahkan untuk membantu serangan hari pertama dengan sasaran seluruh kota Solo dan Letnan Kolonel Slamet Riyadi mulai memegang komando mengantikan Mayor Akhmadi.

Tambahan pasukan ini semakin memperkuat serangan pasukan SWK 106 yang intinya dari DEN TP Brigade XVII.Akibatnya pasukan Belanda semakin terdesak karena pasukan dari Brigade V menyekat kekuatan lawan dan menghambat bantuan lawan di luar kota Solo. Konvoi Belanda dari Semarang bahkan tidak dapat memasuki kota Solo karena dihambat oleh pasukan TNI di Salatiga.

Untuk membantu pasukanya yang terjebak di Solo, Belanda bahkan mulai mengerahkan 2 Bomber (tdk diketahui jenisnya) dan 4 pesawat Mustang ditambah pasukan para yang diterjunkan ke Lanud Panasan (sekarang Adiseomarmo). Tapi bantuan ini gagal mengubah arah pertermpuran dimana Tentara Belanda di Solo makin terkepung dan hampir seluruh bagian kota Solo dikuasai oleh TNI.

Pada hari ketiga, 9 Agustus 1949 dikisahkan, Belanda semakin membabi-buta dalam membalas serangan, dibantu oleh pasukan KST (Korps Spesiale Troepen), menembak setiap lelaki yang dijumpainya. Dalam peristiwa ini, seorang komandan regu Seksi I Kompi I, Sahir gugur di daerah pertempuran Panularan.

Hari keempat, 10 Agustus 1949 sebagaimana diperintahkan oleh komandan Wehrkreise I Brigade V, Letnan Kolonel Slamet Riyadi, TNI melaksanakan serangan perpisahan menandai akhir masa serangan umum empat hari. Dengan demikian meningkatkan moril pasukan gerilya TP. Pertempuran itu terus berlangsung hingga tengah malam, menjelang dimulainya masa gencatan senjata pada pukul 00.00 tanggal 11 Agustus 1949. Sementara itu pihak tentara Belanda, sebagai pembalasan atas tewasnya 2 (dua) anggota KL, pada hari yang semestinya sudah berlaku gencatan senjata, yaitu pukul 11.00, memaksa keluar rumah baik penduduk lelaki maupun wanita, untuk kemudian membantainya, serta membakar rumah mereka dengan alat penyembur api. Peristiwa ini terjadi di daerah Pasar Nangka. Tercatat 36 (tiga puluh enam) nyawa melayang akibat tindakan ini, termasuk 5 (lima) wanita dan seorang bayi.

Secara taktis, serangan hari keempat ini berhasil menguasai seluruh wilayah kota. Pada kesempatan itu, Letnan Kolonel Slamet Riyadi selaku komandan Wehrkreise I (Brigade V/II) memerintahkan kepada Mayor Akhmadi selaku komandan SWK 106, untuk menarik seluruh pasukan ke garis tepi kota, sebagai pelaksanaan ceasefire order, atau gencatan senjata. Memang pada kenyataannya pelaksanaan gencatan senjata tidak sesegera itu berlangsung dengan aman. Masih terjadi beberapa insiden yang melibatkan kedua belah pihak yang bertempur. Satu di antaranya berlangsung di sebelah Timur Gapura Gading, berlangsung baku tembak dari arah pos Belanda ke arah 2 (dua) anggota TNI, yang mengakibatkan satu di antaranya gugur, satu luka ringan. Insiden ini berawal dari upaya pihak Belanda yang mencoba menambah pasukan dengan meminta bantuan dari Semarang, dalam hal ini pasukan khusus Baret Hijau (Green Cap) atau KST. Tanpa mengindahkan mulai berlakunya masa gencatan senjata, pasukan yang dikenal kejam ini pada sekitar pukul 2 atau 3 dinihari justru melakukan pembantaian di markas PMI (Palang Merah Indonesia), di wilayah Gading. Adalah kediaman Dr.Padmonoegoro, ketua PMI cabang Surakarta yang menjadi sasaran serangan itu, saat itu menjadi tempat mengungsi sebagian penduduk sekitar. Kekejaman tentara Baret Hijau Belanda ditunjukkan dengan membantai para pengungsi dengan tanpa melepaskan tembakan sama sekali, namun dengan cara menyembelihnya. Dalam pembantaian dini hari ini, tercatat 14 (empat belas) petugas PMI gugur, ditambah 8 (delapan) orang pengungsi tewas, sementara 3 (tiga) orang lainnya yang juga menjadi korban penyembelihan tidak sampai tewas.

Peristiwa yang terjadi Pasca Gencatan Senjata
Akibat dari serangan gencar dan bertubi-tubi yang dilakukan oleh pihak TNI maka taktis seluruh wilayah kota Solo berada di pihak TNI,  maka untuk menghindari korban yang lebi besar di pihak tentara Belanda maka Belanda melakukan penawaran perundingan dan melakukan gencatan senjata dengan pihak TNI. Akan tetapi tentara Belanda seringkali melanggar perjanjian gencatan senjata tersebut  Pada tanggal 11 Agustus terjadi banyak pelanggaran perjanjian gencatan senjata oleh pasukan khusus Baret Hijau (KST/Korps Speciale Troepen) yang menewaskan banyak penduduk sipil antara lain: di Sambeng-32 orang tewas, di pasar Nongko-67 tewas,di Serengan-47 orang tewas,di Padmonegaran Gading-21 tewas,di Pasar Kembang-24 orang tewas. Situasi tersebut mendorong terjadinya pertempuran apalagi pasukan TNI terutama pihak DEN II TP Brigade XVII tidak mau menerima perjanjian ini karena hampir seluruh Kota Solo telah berhasil diduduki dalam serangan umum tersebut dan pihak Belanda telah jelas-jelas melanggar pada tanggal 11 agustus 1949.

Selain itu Mayor Akhmadi juga mengeluarkan kebijakan yang berbeda dan menimbulkan situasi kontradiktif. Kebijakannya ini dilakukan dengan beberapa alasan. Pertama, tetap memegang teguh tugasnya sebagai komandan Komando Militer Kota (KMK Solo), dengan tugas teritorialnya, berdasar pengangkatan langsung dari MBAP (Markas Besar Angkatan Perang) pada bulan April 1948. Dalam kaitan ini, tugas-tugas lebih sering diperintahkan langsung oleh Panglima Tertinggi Divisi II/Gubernur Militer Jawa Tengah yang berkedudukan di Sala, Kolonel Gatot Soebroto, yang pada saat gencatan senjata diberlakukan masih dalam keadaan sakit dan berada di Yogyakarta. Kedua, sebagai pemimpin tertinggi militer wilayah Surakarta, Kolonel Gatot Soebroto belum mencabut instruksinya No. 16A tertanggal 18 Juni 1949, yang salah satu instruksinya berbunyi: “anggota angkatan Perang dan Pegawai Pemerintah Sipil, sekeluarnya instruksi ini harus berjuang terus, selama belum ada perintah cease fire dari kami sendiri, meski ada perintah dari instansi manapun”. Untuk menegaskan sikapnya itu, Mayor Akhmadi mengeluarkan instruksi No. 1/Dari/Cdt/8-49 tanggal 11 Agustus 1949, pukul 24.00:
  • Tidak bertanggung jawab atas penarikan mundur pasukan-pasukan.
  • Bertekad tetap bertanggung jawab menjaga keselamatan dan ketenteraman rakyat.
  • Apabila Belanda mengganggunya, maka komandan-komandan sektor harus bertindak di daerahnya masing-masing. (Ofensif TNI Empat Hari di Kota Sala dan Sekitarnya, 137.)

Demikianlah, pada satu sisi, terdapat perintah untuk menarik mundur pasukan dengan kembali ke posisi semula (pos-pos), pada lain pihak masih memegang teguh perintah untuk menempati posisi yang berhasil direbut. Di tengah situasi sebagaimana dipaparkan di atas, di kediaman Ir. Seseto Hadinegoro, atau Istana Kembang Banowati di jalan Bayangkara, berlangsung kontak resmi antara Komandan Pasukan Belanda, Kolonel Van Ohl, dengan Komandan Brigade V/II, Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Pertemuan sebagai tindak lanjut gencatan senjata yang berlangsung dari pukul 14.00 dan berakhir pukul 16.30 itu membuahkan kesepakatan sebagai berikut:
  • Untuk mengurangi terjadinya perselisihan, Kol. Ohl meminta dengan sangat:
  1. TNI ditarik mundur ke tepi batas kota.
  2. Rintangan-rintangan jalan disingkirkan.
  • Pihak Belanda berjanji:
  1. Teror Belanda tak akan terulang.
  2. Tidak akan diadakan pembalasan terhadap rakyat yang membantu TNI.
  3. Teroris-teroris telah diurus oleh Krijgsraad (pengadilan).
  4. Mulai tanggal 12-8-1949 pasukan Belanda akan dikonsinyir di tempat masing-masing.
  • Setiap teror dari pihak Belanda supaya dilaporkan kepada Komandan TNI.
  • Penyerahan kota Solo akan diserahkan dalam bulan ini juga (Agustus 1949).(Ofensif TNI Empat Hari di Kota Solo dan Sekitarnya, 130)
Menindak lanjuti hasil pertemuan ini Letnan Kolonel Slamet Riyadi sebagai Komandan Wehrkreise I segera mengeluarkan Perintah Harian kepada seluruh jajarannya untuk menaati perintah Presiden Panglima Tertinggi/Panglima Perang tertanggal 3 Agustus 1949 tentang gencatan senjata, untuk dilaksanakan.

Sempat terjadi perbedaan pendapat antara Brigade V dengan Den II TP Brigade XVII.Mayor Ahmadi berpegang teguh pada perintah Panglima Divisi II Kol Gatot Subroto.Mayor Ahmadi menginstruksikan agar pasukan TP tetap dalam sektor masing-masing dengan posisi terakhir dan tidak bertanggung jawab terhadap penarikan pasukan ke batas kota dan memerintahkan apabila Belanda melanggar lagi agar ditindak oleh masing-masing sektor. Sedang pihak Brigade V berpegang teguh pada : Berlakunya gencatan senjata tanggal 3-10 agustus 1949, yang berminat berunding adalah Belanda yang sedang terdesak, dan mengurangi kekejaman pasukan Belanda terhadap sipil. Sebagai tanggung jawab seorang komandan, akhirnya Letnan Kolonel Slamet Riyadi mengeluarkan penjelasan secara panjang lebar tentang proses perundingan serta kesepakatannya, dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Penjelasan yang diberikannya disertai rasa tanggung jawab akhirnya dapat diterima dan dipercayai oleh pasukanya.

Di lain pihak, setelah mendengar laporan perkembangan situasi dari anak buahnya, Kepala Staf Gubernur Militer II, Letnan Kolonel Suprapto akhirnya mengambil dua tindakan, yaitu mengutus dua orang anggota TP untuk menemui dan meminta ketegasan sikap Gubernur Militer, tentang situasi mutakhir. Kedua, Kepala Staf mengeluarkan instruksi No. 16/In/Ks/8/I, tanggal 16 Agustus 1949, berisi; “secara formil, dengan didasarkan atas instruksi atasan yang tertentu situasi yang tercipta dalam hubungan kita dengan pihak Belanda belum dianggap resmi.”

Situasi ini akhirnya dapat didinginkan oleh Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto, setelah dikeluarkannya Perintah Harian No. 18/Ks/PH/8/I, tanggal 18 Agustus 1949, yang isinya memerintahkan kepada komandan Brigade V/Div. II, untuk menyerahkan penyelesaian dan penyelenggaraan akibat situasi yang dicapai dengan penghentian tembak-menembak, kepada komandan SWK 106 Arjuna. Dengan kewenangannya, Mayor Akhmadi menindak-lanjuti perundingan gencatan senjata dengan kesepakatan: pihak Indonesia menempati daerah yang telah didudukinya dan pihak Belanda di tempat semula. Pada tanggal 24 Agustus 1949 urusan keamanan kota diserahkan kepada Mayor Ahmadi selaku Komandan Komando Militer Kota (KMK) Solo.


Referensi : https://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_Umum_Surakarta

No comments:

Post a Comment