Friday, 19 June 2015

Letnan Jendral S Parman



Kisah Dua Bersaudara dari Wonosobo

Keluarga dari garis bapak saya itu unik, orangnya nyentrik-nyentrik, yang akan saya ceritakan disini adalah adik-adik kandung dari nenek saya, yaitu Siswondo Parman dan Sakirman. Siswondo Parman atau kita kenal sebagai salah satu pahlawan revolusi Letjen (Anumerta) S. Parman, dilahirkan di Wonosobo, Jawa Tengah pada tanggal 4 Agustus 1918. Ia anak keenam dari sebelas orang saudara. Ayahnya bernama Kromodihardjo, seorang pedagang. Sedangkan kakaknya Ir. Sakirman lahir pada tahun 1911, juga di Wonosobo. Nenek moyang kami memang orang Wonosobo, eyang buyut kami, Sayid Umar Sutodrono adalah salah satu senapati Pangeran Diponegoro yang setelah kekalahannya pada tahun 1830, hijrah ke Kota Wonosobo dan mendirikan Kampung Sudagaran (dari kata Saudagar/pedagang).
Meskipun Kromodihardjo hanyalah seorang pedagang di Pasar Wonosobo, beliau mewajibkan anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Parman menyelesakan pendidikan di HIS (Hollandsch Inlandsche School) atau Sekolah Dasar Belanda di Wonosobo. Kemudian ia melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebried Lager Onderwijs) atau Sekolah Menengah Pertama di Yogyakarta. Seharusnya ia melanjutkan ke AMS (Algemeene Middelbare School), sekolah yang setara dengan SMA saat ini. Namun ayahnya meninggal dunia pada tahun 1937, sehingga hampir dua tahun Parman tidak bersekolah. Untuk mengisi waktu ia membantu ibunya berdagang di Pasar Wonosobo. Setelah itu Parman kembali melanjutkan ke AMS. Tamat dari situ, ia masuk ke Sekolah Tinggi Kedokteran (STOVIA) di Jakarta.
Parman mengikuti keinginan ayahnya dahulu untuk masuk sekolah kedokteran, padahal sebenarnya ia ingin masuk Sekolah Tinggi Hukum. Lagi-lagi, sekolah Parman kembali terhambat, ia tidak menyelesaikan sekolah kedokterannya karena invasi Jepang tahun 1942. Suatu hari ketika Parman tengah berada di Wonosobo, ia bertemu polisi militer Jepang, Kenpetai. Mereka membutuhkan seseorang yang bisa berbahasa Inggris sebagai penterjemah. Mulai saat itu, Parman yang fasih berbahasa inggris mengikuti Kenpetai hingga ke Yogyakarta. Meski membantu Jepang, rasa nasionalisme Parman tetap tinggi. Ia terus berhubungan dengan teman-temannya yang berjuang diam-diam untuk melawan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk. Parman memilih dunia militer sebagai tempat pengabdiannya pada negara. Selama Agresi Militer II, Parman ikut begerilya di luar kota. Usai agresi, Parman bahkan sempat mengenyam pendidikan di Koninklijke Militaire Academie (KMA) di Breda, Belanda (semacam AKMIL). Karir Parman terus menanjak, ia kemudian diangkat menjadi Asisten I Men Pangad bidang Intelijen dengan pangkat Brigadir Jenderal. Pada Agustus 1964, pangkatnya dinaikkan lagi menjadi Mayor Jenderal. Pada waktu memegang jabatan sebagai Asisten I bidang Intelijen, pengaruh PKI sudah meluas ke hampir seluruh bidang kenegaraan. Lawan utama PKI adalah Angkatan Darat. PKI menyebar opini publik bahwa AD berniat menggulingkan kepemimpinan Presiden Soekarno. Oleh karena itu, PKI mendesak Presiden membentuk Angkatan Kelima. Anggotanya adalah buruh dan tani yang dipersenjatai.
Parman adalah salah satu pihak yang paling keras menolak rencana pembentukan Angkatan Kelima. Penolakan serta posisinya sebagai pejabat intelijen yang tahu banyak tentang PKI, menjadikannya sasaran utama PKI, sehingga dini hari tanggal 1 Oktober 1965 beliau diculik gerombolan G30S/PKI yang dipimpin Serma Satar dari Resimen Tjakrabirawa. Di Lubang Buaya, setelah disiksa dengan kejam, beliau akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. Jasadnya baru ditemukan tanggal 4 Oktober 1965 dan dimakamkan tanggal 5 Oktober 1965 di TMP Kalibata.
Salah satu otak penculikan Parman tidak lain adalah kakak kandungnya sendiri, Ir. Sakirman yang merupakan petinggi di Politbiro CC PKI (semacam Dewan Syuro atau Dewan Penasihat Parpol sekarang). Ada versi lain yang menyatakan bahwa Sakirman, meskipun telah merencanakan menculik Parman tapi kemudian berubah pikiran dan sebenarnya telah berusaha menghubungi adiknya, sayang gagal. Sedikit flash back, tahun 1948, Parman sempat dipenjara karena kesalahpahaman dengan Jendral Gatot Subroto ketika kakaknya, Ir. Sakirman terlibat dalam pemberontakan PKI di Madiun pada 19 September 1948. Saat itu, sebagai Kepala CPM Markas Besar Komando Jawa tidak tahu di mana keberadaan kakaknya. Ia dituduh menyembunyikan Sakirman dan membantu pihak pemberontak. Parman sempat dimasukkan ke penjara Wirogunan, Yogyakarta untuk kemudian dibebaskan kembali dan nama baiknya direhabilitasi.
Nasib Ir. Sakirman sendiri tidak jelas, ada yang bilang insinyur lulusan ITB itu ditangkap RPKAD dan langsung dieksekusi. Ada juga yang menyatakan bahwa ia melarikan diri ke China atau Rusia. Dimanapun beliau berada sekarang, semoga Allah SWT mengampuni segala kekhilafannya.
Sumber :
http://sejarah.kompasiana.com/2011/01/31/kisah-dua-bersaudara-dari-wonosobo-337327.html

No comments:

Post a Comment